Masih misterius Mengapa Kasus Covid-19 di Afrika Selatan ‘tidak bertambah signifikan’
Jurnal123.com – Dalam dua pekan terakhir, dokter-dokter dan para pejabat kesehatan di Afrika Selatan menghadapi situasi luar biasa dan sejauh ini belum diketahui jawabannya: penurunan tajam tingkat infeksi harian akibat virus corona.
Padahal semuanya sudah disiapkan: tempat tidur, bangsal khusus, peralatan medis dan ambulans.
Semua operasi yang tidak mendesak juga sudah ditunda atau dijadwal ulang.
Protokol kesehatan sudah disepakati dan selama beberapa pekan para pekerja kesehatan melakukan latihan menghadapi berbagai skenario wabah.
Namun, hingga hari Senin (13/04), apa yang digambarkan sebagai “tsunami infeksi”, seperti yang diperingatkan oleh sejumlah pakar, tidak menjadi kenyataan, atau lebih tepatnya belum menjadi kenyataan.
“Memang aneh sekali situasinya. Misterius. Kami tak tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Dr Evan Shoul, pakar penyakit menular di Johannesburg.
Tom Boyles, dokter ahli penyakit menular di Rumah Sakit Helen Joseph, salah satu pusat kesehatan terbesar di Johannesburg, mengatakan ia dan dokter-dokter lain “masih bingung dengan angka penurunan infeksi virus corona”.
“Kami sudah menyiapkan semuanya. Tapi yang kami khawatirkan tidak terjadi. Aneh sekali,” kata Boyles.
Meski demikian, para pakar kesehatan memperingatkan terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa angka infeksi harian memang menurun.
menerapkan pembatasan sosial secara ketat sejak bulan Maret.
Selain itu, para pakar juga mengatakan tren penurunan bisa mendorong para pekerja kesehatan menjadi “lebih santai”, sikap yang harus dihindari.
Presiden Cyril Ramaphosa mengatakan penurunan angka infeksi harian disebabkan oleh pembatasan sosial dan telah memutuskan untuk memperluas pembatasan tersebut.
Tadinya pembatasan tersebut akan berakhir pada pekan ini namun diperpanjang hingga akhir April.
Yang menjadi pertanyaan adalah, negara-negara lain juga menerapkan pembatasan, tapi mengapa hasilnya lain?
Mengapa di Afrika Selatan penurunan angka infeksi harian begitu tajam?
Inilah yang masih menjadi misteri dan para dokter di Afrika Selatan belum menemukan jawaban.
Penelusuran kontak yang agresif ?
Kasus pertama virus corona di Afrika Selatan dikonfirmasi sekitar lima pekan lalu dan sejak tanggal 28 kurva yang mencatat jumlah infeksi baru terus menanjak, tren yang juga terlihat di banyak negara lain.
Namun sejak Sabtu dua pekan lalu, tiba-tiba kurvanya turun tajam: dari 243 kasus baru menjadi hanya 17.
Sejak itu, jumlah infeksi baru hanya berkisar 50 per hari.
Peta dan infografis terkait pasien terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia
Apakah ini semua karena kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan lebih awal dan lebih ketat di Afrika Selatan?
Apakah ini juga disebabkan oleh penelusuran kontak ( contact tracing ) yang berjalan efektif?
Pada akhir pekan lalu, Presiden Ramaphosa mengatakan “masih terlalu awal untuk mendapatkan jawaban yang definitif”.
Namun ia juga mengatakan, sejak kebijakan karantina wilayah diterapkan, jumlah infeksi baru per hari turun dari 42% “menjadi hanya 4%”.
Image caption Di Afrika Selatan, hingga 11 April, terdapat sekitar 2.000 kasus virus corona, dengan angka kematian 25.
Precious Matotso, pejabat yang memonitor pandemi di Afrika Selatan untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan masih diperlukan data yang lebih komplit untuk mengambil keputusan.
“Saya kira, semakin banyak orang yang dites, semakin jelas apakah memang seperti ini situasinya. Kita belum mendapatkan angka yang definitif sejauh ini,” kata Matotso.
Stavros Nicolaou, pengusaha yang bergerak di bidang layanan kesehatan di Afrika Selatan, juga berpendapat masih terlalu awal untuk mengambil kesimpulan.
“Memang ada tanda-tanda yang positif. Namun kekhawatiran saya adalah karena data yang terbatas itu, orang-orang merasa puas [dan mengendurkan kerja],” kata Nicolau.
‘Sekadar hipotesis’
Selagi jawaban yang definitif masih di cari, berbagai rumah sakit belum menerima lonjakan pasien virus corona, terutama pasien yang mengeluhkan infeksi saluran pernafasan.
Salah satu teori yang berkembang adalah warga Afrika Selatan punya kekebalan tambahan atas virus ini.
Beberapa pihak berargumen ini mungkin didapat karena setiap warga harus mendapatkan vaksin tuberculosis. Juga mungkin disebabkan oleh fakta bahwa ada orang-orang yang mendapatkan perawatan antiretroviral.
Mungkin juga ada kelompok-kelompok yang punya enzim khusus yang berperan menangkal virus corona.
Namun, tentu saja ini semua baru sebatas asumsi dan belum bisa diverifikasi.
“Saya akan kaget kalau ini memang disebabkan oleh vaksin … tapi ini hanya teori, mungkin kenyataannya tidak seperti itu,” kata pakar penyakit menular Tom Boyles.
Profesor Salim Karim, ahli HIV di Afrika Selatan, mengatakan teori-teori di atas “hanya sekadar hipotesis”.
“Tak ada yang tahu jawabannya pada tahap ini,” katanya.
Yang jelas, di tengah tren angka infeksi baru yang menurun, pemerintah Afrika Selatan menyatakan mereka masih mengantisipasi kemungkinan terburuk, bahwa “tsunami infeksi masih bisa terjadi”.
Sejumlah pakar mengatakan mungkin yang terjadi saat ini adalah “jeda wabah”.
Yang menjadi kekhawatiran tentu saja adalah masih akan terjadi peningkatan angka infeksi di waktu ke depan.
Selain itu, beberapa pihak mengkhawatirkan kapasitas kesehatan dalam menampung pasien, yang mereka katakan terlalu menggantungkan pada klinik-klinik swasta. (BBC)