3 Kementerian Resmi Teken Peraturan Pemblokiran Ponsel BM via IMEI
Jurnal123.com – Setelah melalui serangkaian proses, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika akhirnya meneken peraturan tentang pemblokiran ponsel BM via IMEI pada hari ini, Jumat (18/10/2019).
Adapun penandatangan Peraturan Menteri (Permen) ini dilakukan langsung oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta pada pukul 08.30 WIB.
Peraturan ini sebetulnya sudah menjadi wacana sejak 2010 hingga akhirnya benar-benar disahkan hari ini. Peraturan pemblokiran ponsel BM via IMEI ini dinilai sangat dibutuhkan karena potensi kerugian negara sekitar Rp 2,8 trilun per tahun dari sektor pajak.
“Kita tertunda pendapatan dari pajak sekitar Rp 2 T setahun. Kalau kita tunda (pengesahan) sehari, ada opportunity loss (potensi kerugian) senilai Rp 55 miliar. Tolong bantu garisbawahi, sekali lagi, tidak ada dampaknya terhadap user sekarang. Adanya (dampak) ke user yang bawa (ponsel) ke luar negeri,” kata Rudiantara. Pemerintah, menurut Rudiantara, memerlukan waktu sekitar enam bulan “untuk integrasi semua sistem di lokal dan internasional. Saya ucapkan terima kasih terhadap operator yang telah membantu negara dalam konteks pajak.”
Sementara itu, Airlangga Hartanto, mengatakan, secara sistem peraturan ini sudah sangat siap untuk dijalankan.
“SK bersama ini sudah dibahas lama sekali dan hari ini kita luncurkan karena secara sistem sudah sangat siap. Sistem akan mengecek data, dan data ini rumahnya ada di Kemenperin, tapi regulatory ada di Kemendag dan Kemkominfo. Tujuannya untuk memerangi black market. 1,4 miliar data IMEI dan akan dikolaborasikan dengan data GSMA jadi sebenarnya data individu itu aman, baik itu beli di dalam atau luar negeri,” ujar politikus Golkar tersebut.
Dalam tempo enam bulan, menurut Airlangga, regulasi akan mulai terasa berpengaruh dalam meniadakan black market.
“Sebenarnya tidak ada perlindungan khusus di industri dalam negeri, melainkan persaingan tidak sehat. Di mana yang resmi itu bayar PPN dan yangg black market tidak (bayar PPN). Dinilai dari economic value, 2 T itu 20 T, jadi multiplier effect-nya besar sekali. Sekali lagi, sistem ini tidak akan mengganggu baik individual usermaupun pedagang. Kita harapkan semua yang berdagang itu legal,” tutur Airlangga menegaskan.
Senada dengan Rudiantara dan Airlangga, Enggartiasto Lukita mengungkapkan bahwa salah satu tujuan dari pengesahan peraturan ini adalah untuk memberikan perlindungan.
“Dalam rangka mengamankan ini semua, kita di Kemendag agak teknis, kita mensyaratkan buku pedoman dalam bahasa Indonesia. Kalau tidak ada label dan pedoman dalam bahasa Indonesia, maka patut dicurigai sebagai (barang) black market, meskipun ujungnya pendaftaran IMEI itu sendiri,” ujar Enggar.
Selanjutnya, kata Enggar, saat izin untuk melakukan impor, peraturan ini otomatis akan melekat.
“Jadi inilah hal-hal yang bukan baru, jadi kita terus menerus melakukan tertib niaga. Dirjen PKPN di dalam perlindungan konsumen akan lebih mudah juga. Konsumen juga yang akan diuntungkan, mereka dapat sesuatu yang pasti dengan garansi.”
SIBINA dan EIR
Pada praktiknya, mekanisme pemblokiran antara lain didasarkan pada Sistem Informasi Basis Data IMEI Nasional (SIBINA). Sistem ini merekam data ponsel, data IMEI yang masuk melalui TPP atau Tanda Pendaftaran Produk, baik itu IMEI ponsel, computer, tablet maupun perangkat handheld. Dengan demikian, sistem ini tidak bisa merekam data individu si pemilik perangkat.
Selain SIBINA, ada pula alat bernama Equipment Identity Register (EIR), yang merupakan mesin pendeteksi IMEI untuk memblokir ilegal. Rencananya, investasi untuk mengembangkan mesin EIR akan dibebankan kepada operator seluler, tetapi beberapa waktu lalu Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), merasa keberatan jika investasi sepenuhnya dibebankan kepada mereka karena dianggap mahal.(LIP)