IPW Menilai Pengelola Apartemen Green Pramuka Berlebihan
JURNAL123, JAKARTA.
Pengamat properti dari Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda melihat, perseteruan antara komika Muhadkly MT alias Acho dengan pihak Apartemen Green Pramuka, bukan hal baru di dunia properti. Sebab, menurut Ali, keluhan terkait lambannya pengurusan sertifikat kepemilikan satuan rumah susun dari penghuni kepada pengembang properti telah sering terjadi.
Ali menjelaskan, penerbitan sertifikat sebenarnya dapat rampung dalam hitungan bulan. Namun, menurut dia, memang sering kali ada beberapa proses yang membuat penerbitan sertifikat lambat, sehingga secara rata-rata baru terbit sekitar dua tahun setelah penghuni menempati apartemen.
“Memang seharusnya bisa lebih cepat, tapi prakteknya ya segitu (dua tahun kemudian),” terang Ali seperti dilansir CNNIndonesia.com, Senin (7/8/2017).
Pada kasus Acho, seperti yang dikisahkannya dalam laman blog pribadinya, beberapa penghuni Apartemen Green Pramuka pada Tower Fagio dan Tower Pino belum juga mendapat sertifikat kepemilikan. Padahal, kedua tower tersebut merupakan tahap awal pembangunan kompleks apartemen tersebut dan sudah memasuki tahun ketiga sejak dapat dihuni.
Terkait hal ini, Ali menilai, ada beberapa hal yang mempengaruhi sertifikat melebihi batas waktu ideal, yaitu adanya perubahan ketentuan dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), belum mendapatkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF), atau ada waktu tambahan pada proses pemberian izin dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
“Kalau satu sampai dua tahun masih wajar. Kalau terlalu lama bisa saja, ada perubahan IMB atau belum dapat SLF, atau bisa juga BPN-nya yang lama,” jelas Ali.
Menurutnya, dengan berbagai kemungkinan tersebut, seharusnya pihak Apartemen Green Pramuka dapat menjelaskan kepada Acho dan penghuni lain yang merasa kecewa dengan mediasi antar kedua pihak, sembari mengupayakan agar sertifikat tersebut segera terbit.
Sayangnya, pada kasus ini, yang terjadi justru pihak Apartemen Green Pramuka terlihat terlalu reaktif dalam menanggapi keluhan tersebut. “Terlalu reaktif, seharusnya bisa diselesaikan dengan mediasi saja,” kata Ali.
Namun, kasus tersebut saat ini telah bergulir hingga ke ranah hukum. Dengan demikian, menurut dia, penyelesaian perseteruan tersebut pun bergantung pada kedua belah pihak.
Melalui blognya, Acho memaparkan sejumlah kekecewaannya terhadap pengelolaan apartemen tersebut. Dia mencontohkan, janji ruang terbuka hijau sebesar 80 persen saat perjanjian jual beli unit apartemen yang tak kunjung terealisasi.
Selain itu, ia juga mempertanyakan penerbitan sertifikat kepemilikan satuan apartemen yang juga tak kunjung diberikan serta pungutan liar (pungli) yang kerap dikenakan pihak apartemen kepada penghuni.
Namun, bukan berujung pada pemenuhan ketidakpuasan dari pihak apartemen, Acho justru dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh pihak apartemen lantaran dianggap mencemarkan nama baik apartemen, sekaligus melanggar Pasal 27 ayat (3), Pasal 45 ayat (3) UU ITE dan atau Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.
Menurut Polda Metro Jaya, pihak pengelola Apartemen Green Pramuka melalui kuasa hukumnya Danang Surya Winata melaporkan Acho pada 5 November 2015 lalu.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, usai laporan tersebut masuk, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus menyikapi laporan itu dengan melakukan penyelidikan dan memeriksa sejumlah saksi serta ahli.
Penyidik kemudian menetapkan Acho sebagai tersangka dugaan pencemaran nama baik pada 12 Juli 2017.
“(Setelah dilaporkan) baru terlapor (Acho) berupaya mendekat kepada pelapor, namun sepertinya pelapor sudah resistance karena market menurun drastis akibat peristiwa tersebut,” tutur Argo.
Penyidik telah melimpahkan berkas perkara Acho, berikut barang bukti ke Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.(CNN)