Hari Ini Jatuh Tempo Pelepasan Saham Freeport
JURNAL123, JAKARTA.
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan, batas waktu penawaran saham PT Freeport Indonesia ke Pemerintah sampai 14 Januari 2016. Namun, sampai saat ini perusahaan tersebut belum melakukannya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot mengatakan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan tambang yang melakukan penawaran saham memiliki waktu 90 hari.
Sedangkan PT Freeport Indonesia sudah bisa melakukan penawaran saham sejak 14 Oktober 2015, jika dihitung berdasarkan 90 hari maka batas akhir penawaran saham jatuh pada14 Januari 2016. “Mereka (Freeport Indonesia) diberi waktu selama 90 hari,” kata Bambang, di Jakarta, Jumat (4/12/2015).
Bambang menuturkan, pihaknya telah melayangkan surat permintaan pelepasan saham, ke perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut sejak November 2015. Namun, hingga saat ini belum ada tanggapan.
“Kami masih menunggu penawaran dari mereka. Sampai sekarang mereka belum menyampaikan penawaran,” tutur Bambang.
Sebelumnya Bambang mengungkapkan jika PT Freeport Indonesia tidak segera melakukan pelepasan saham pemerintah akan terus melakukan teguran. Jika teguran tersebut tidak diindahkan maka PT Freeport Indonesia bisa dinyatakan default.
“Mekanismenya, kalau mereka tidak memenuhi kewajiban, kita akan kasih peringatan-peringatan, kemudian ada teguran, dan bisa default,” ujar Bambang.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, perusahaan tambang yang melakukan kegiatan penambangan di bawah tanah wajib melakukan disvestasi sebesar 30 persen.
Saat ini saham PT Freeport Indonesia sudah dimiliki pemerintah sebesar 9,36 persen, dan saham yang akan dilepas saat ini sebesar 10,64 persen, sedangkan sisanya 10 persen dilepas pada 2019 atau tahun kelima setelah Peraturan Pemerintah tersebut diundangkan.
Butuh Rp 27 Triliun untuk Beli 20% Saham Freeport
Mantan Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Ito Warsito menghitung ada nilai sekitar US$ 2 miliar untuk 20 persen saham yang wajib dilepas PT Freeport Indonesia. Jika dirupiahkan, itu artinya pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ingin mengambilalih saham tersebut harus menyediakan anggaran Rp 27,4 triliun.
“Kalau mau dibeli pemerintah, apakah siap dengan pendanaannya? Karena saat 9,36 persen saham Freeport dilepas nilainya US$ 1 miliar pada 2009. Anggaplah harganya sama, jadi kalau Freeport Indonesia disuruh divestasi 20 persen, nilainya dua kali lipat,” ujarnya di Jakarta, Jumat (27/11/2015).
Lebih jauh dijelaskan Ito, paling berisiko apabila pemerintah memerintahkan BUMN untuk membeli saham Freeport Indonesia. Artinya, pemerintah harus siap dengan suntikan dana jika tidak ingin perusahaan pelat merah terlilit utang.
“Kalau pemerintah menyuruh BUMN membeli saham itu, apakah pemerintah mau menyuntikkan APBN ke BUMN itu. Jika BUMN harus berutang, darimana utangnya, apakah dari dalam atau luar negeri. Apakah BUMN siap membayar bunga atas utang, mengingat bunga utang akan berpengaruh langsung ke laporan laba rugi di BUMN,” tegas Ito.
Pengamat Pasar Modal ini menyarankan agar pemerintah mengawal proses divestasi Freeport Indonesia. Langkah paling benar, diakunya, melalui penerbitan saham baru, bukan melepas saham induk usahanya Freeport Mc-Moran yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
“Kalau Freeport Mc-Moran yang disuruh mendivestasikan sahamnya di Freeport Indonesia, kita tidak akan menikmati keuntungan dari sana. Kenapa? Itu kan uangnya Freeport Mc-Moran yang akan dia bawa lagi ke AS,” ujar Ito.
Sambung Ito, Freeport Indonesia seharusnya didesak untuk go public dengan cara penerbitan saham baru sehingga menarik aliran dana masuk ke pasar modal. Dana segar dari penerbitan saham baru tersebut, kata Ito yang saat ini sebagai Pengamat Pasar Modal, dapat digunakan untuk ekspansi di Indonesia, khususnya tambang bawah tanah Grasberg, Papua.
“Kalau Freeport Indonesia listing di BEI dengan menerbitkan saham baru, maka uang yang masuk akan menjadi uang Freeport Indonesia. Hasilnya balik lagi untuk investasi tambang bawah tanah yang sedang digarap. Pembelian saham oleh investor pasar global akan mendorong masuknya uang ke Indonesia sebagai cash inflow, bukan outflow,” tegas Ito.
Dengan demikian, ia mengaku, secara tidak langsung dapat ikut menolong rupiah, termasuk memberi sentimen positif di pasar modal Tanah Air karena jumlah divestasi yang cukup besar.
Namun kendala IPO bagi perusahaan tambang asing ada di regulasi. Ito meminta pemerintah dan otoritas pasar modal untuk mengubah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014. Dalam regulasi ini, perusahaan tambang asing tidak diberikan peluang untuk melakukan divestasi lewat IPO.
“Peraturan saat ini sudah memberikan pola divestasi yang berurutan, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN lalu swasta nasional. Tapi tidak ada pilihan melalui IPO. Jadi menurut saya pemerintah perlu mengubah PP 77 Tahun 2014,” harap Ito. (LIP)