HukumNusantara

Nasib 2 Wanita Terpidana Mati, Usik Nurani Kaligis Minta Jokowi Peduli

 

Jurnal123.com || Jakarta – Sempat menjalani pahit getir dibalik jeruji penjara, pengacara senior Otto Cornelis Kaligis merasa terketuk nuraninya melihat nasib yang dialami 2 wanita terpidana mati, yang sempat ditunda eksekusinya oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Suka atau tidak, fakta mengatakan sangat sulit dijumpai sosok penegak hukum seperti advokat legendaris Prof. OC. Kaligis, yang tidak terhitung banyaknya sudah memberikan tumpah ilmunya kepada banyak pengacara yang dibesarkan dan digembleng dari kantor hukumnya dikawasan jalan Majapahit Jakarta yang penuh memori itu.

Begitu juga halnya dengan terus tanpa henti dan tidak mengenal lelah Kaligis yang kini sudah berumur 85 tahun, tapi masih terus membagikan ilmu dan kepakaran hukumnya buat banyak orang termasuk kepada pihak penguasa dari dulu hingga sekarang.

Walau disatu sisi Kaligis juga mengalami kriminalisasi hukum dan pernah hidup selama 7 tahun di sel penjara LP Sukamiskin Bandung, tapi faktanya Kaligis tidak dendam dan tidak pula ikut gila mendirikan parpol lalu menjadi penentang keras kebijakan pemerintah, apalagi memang sejatinya Kaligis sejak awal sangat suka dengan style Jokowi sewaktu awalnya membawa mobil Esemka yang tidak jadi mobil nasional itu, tapi hati dan kebanggan Kaligis tetap tidak surut terhadap Jokowi yang sesaat lagi sudah harus lengser dari Istana Negara, dan mungkin akan banyak orang tidak lagi ingat pada Presiden RI ke 7 yang kurus kerempeng karena terus memikirkan kemajuan anak bangsanya. Itu yang Kaligis bangga terhadap Jokowi sekalipun sampai berita ini diturunkan masih belum ada tanda tanda Jokowi memanggil menteri BUMN nya Erick Tohir, agar segera mencairkan uang tabungan Kaligis sebesar Rp 3o Miliar yang ditelan haram oleh pihak Jiwasraya itu. Sungguh sangat menderita lahir batin Kaligis sebagai advokat legendaris dan aset nasional dipermainkan oleh pihak pemerintah padahal begitu besarnya jasa Kaligis dimasa lalu saat menjadi lawyer Presiden RI dimasa lalu.

Boleh jad semakin banyak bencana yang terjadi didalam negeri ini karena murka Tuhan terhadap banyak pihak pengusaha yang zholim kepada Kaligis yang memiliki ketulusan dan keiklasan hati hingga nanti akhir hidupnya terhadap Jokowi, dan mungkin itulah sebabnya mengapa hingga sampai 18 kali Kaligis menulis surat terbuka kepada Jokowi agar maksudnya memerintahkan jajarannya untuk secepatnya membantu mencairkan uang milik pribadi tabungan Kaligis yang diselewengkan oleh pihak Jiwasraya plat merahnya pemerintah itu.

Sementara Kaligis meratapi sambil mengutuki sejumlah orang yang sangat jahat terhadap dirinya, kini hatinya meleleh melihat nasib dua terpidana mati perempuan, yang sudah belasan tahun menunggu dan menunggu kapan di ampuni atau kapan di eksekusi.

Berikut dibawah ini secara lengkap dan utuh surat cinta bergelora Kaligis kepada Jokowi, agar jangan nanti setelah lengser Jokowi dari Istana Presiden RI, lalu pura pura menyesal dan lupa terhadap harkat dan hidup matinya dua perempuan yang terus menangisi nasibnya didalam penjara :

Jakarta, 3 Maret 2023

Nomor : 199/OCK.III/2023

Perihal : Perempuan Terpidana Mati

SURAT TERBUKA

Kepada Yth,

Presiden Republik Indonesia

Joko Widodo

di Jakarta

Dengan hormat,

Saya terdorong menulis surat ini kepada Bapak Presiden Jokowi, karena terhenyak oleh tulisan tentang penantian panjang perempuan terpidana mati yang ditulis wartawan Kompas, Sonya Hellen Sinombor, yang dimuat di Harian Kompas awal tahun 2023. Tulisan pertama, berjudul “Doa dan Asa Mary Jane dari Balik Jerugi” (Kompas, 9 Januari 2023,) dan tulisan kedua berjudul “Merry Utami, Dua Dekade Dihantui Kematian” (Kompas, 18 Januari 2023).

Tulisan yang mengulas nasib Mary Jane Fiesta Veloso (37), terpidana mati berkewarganegaraan Philipina yang menjalani penjara selama 13 tahun dan Merry Utami (48), perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah menjalani penjara lebih dari dua dekade (21 tahun), benar-benar mengusik hati nurani saya, sebagai warga negara Indonesia, praktisi hukum, dan akademisi, untuk memohon belas kasih Bapak Presiden Jokowi terhadap kedua perempuan terpidana mati tersebut.

Sebagai manusia bertahun-tahun kedua perempuan ini dipenjara, berada dalam penantian yang panjang, antara hidup dan mati. Bangun pagi, menjadi siksaan batin yang tak terkira, karena tidak ada kepastian sampai kapan mereka hidup. Dari sisi fisik mereka membayar mahal, dengan hidup di balik tembok yang membatasi ruang gerak mereka.

Sebagai umat beriman kita meyakini bahwa yang menentukan sampai kapan manusia hidup di dunia fana ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa, sang Pencipta Manusia. Hidup umat manusia ada di tangan Sang Pencipta sendiri.

Akan tetapi, di dunia hukum, secercah harapan akan hidup-matinya seseorang, masih tersisa apabila mendapat perhatian dari Presiden. Terbukti, di saat Mary Jane dan Mery Utami menghadapi detik-detik hidupnya akan berakhir diujung timahpanas, Bapak Presiden Jokowi- hadir menunda eksekusi hukuman mati mereka. Keluarga mereka dan para pejuang HAM, sungguh mengapresiasi langkah Presiden Jokowi.

Di luar negeri, di negara asal Mary Jane pun perjuangan hidup matinya Mary Jane juga mendapat perhatian Presiden Philipina, Rodrigo Duerte. Bahkan beberapa waktu lalu pihak Pengadilan di Philipina membuka ruang keadilan bagiMary Jane, dengan memberikan kesempatan untuk didengar kesaksiannya, dalam persidangan kasus Maria Kristina Sergio (orang yang dulu menyuruh Mary Jane membawa narkoba ke Indonesia).

Namun, sayangnya, proses tersebut hingga kini belum terlaksana, karena terhambat pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia maupun Philipina. Padahal, kesaksian Mary Jane dalam kasus Maria Kristina sangat penting.

Sebab, pengadilan di Philipina atas kasus Maria Kristina Sergio merupakan jalan atau pintu masuk bagi Mary Jane untuk mendapatkan keadilan. Kesaksiannya akan membuktikan bahwa Maria Kristina Sergiolah yang menjadi penyebab Mary Jane divonis mati. Maka sesuai dengan hukum acara, vonis hukuman mati Mary Jane dapat berubah di Peninjaun kembali atau bisa menjadi pertimbangan Bapak Presiden untuk memberikan grasi.

Bahwa, selama dalam masa penantian 13 tahun itu Mary Jane berkelakuan baik di lembaga pemasyarakatan, tanpa melakukan pelanggaran hukum. Bahkan Mary Jane sama sekali tidak punya latar belakang sebagai pemakai. Sayangnya, ketika diadili di Indonesia, Mary Jane tidak bisa membela diri karena kendala bahasa. Ketika itu, Mary Jane hanya didampingi penerjemah bahasa Tagalog yang tidak kompeten.

Padahal, sejumlah kesaksian Mary Jane, menunjukkan dia menjadi korban. Narkoba ditaruh di dalam koper Mary Jane oleh Kristina Sergio menjelang ke Indonesia, sama sekali diluar pengetahuannya.

Perjuangan hidup dan mati juga dialami Merry Utami, dalam penantian panjang hampir 22 tahun. Seperti Mary Jane, Merry juga adalah korban dari jaringan perdagangan narkoba. Sama seperti Mary Jane, Merry ditangkap, karena kopernya berisi narkoba. Namun, Merry selama proses hukum berulangkali menyatakan dirinya hanyalah korban yang diperdaya, Jerry, yang mengaku warga negara Kanada dan berbisnis di Indonesia.

Baik Merry Utami maupun Mary Jane bukan recidivis yang pernah dihukum sebelumnya. Bahkan Mary Jane sama sekali tidak punya latar belakang sebagai pemakai.

Orang miskin jadi korban

Maka, sebagai Praktisi Hukum yang banyak membela kasus kasus narkoba, yang kebanyakan yang terjaring pengedaran kasus Narkoba adalah golongan miskin, ijinkan saya menyampaikan pengalaman saya.

Pengalaman saya di buku berjudul: Narkoba@Peradilannya di Indonesia (isbn. 979-414-25-9 tahun 2011) menunjukkan bahwa mereka (warga miskin) gampang diiming-iming oleh bandar narkoba untuk menjadi kaki tangan pengedaran barang haram tersebut.

Dalam dunia narkoba segala macam cara digunakan oleh pelaku utama, termasuk memperalat perempuan, apalagi mungkin melalui janji janji menggiurkan sehingga sang perempuan rela dipacarin, lalu dijebak melalui perdagangan obat terlarang.

Mary Jane yang dari keluarga miskin, terbuai dan percaya akan mendapat pekerjaan yang lebih baik, yang dijanjikan oleh Maria Kristina Sergio, mau saja menuruti anjuran Maria Kristina untuk berangkat ke Indonesia, sebelum bekerja di Malaysia. Padahal dia hanya diperalat Maria Kristina Sergio.

Dan, saat ini, orang yang menyuruh Mary Jane membawa “barang” yang ternyata narkoba adalah Maria Kristina Sergio sedang diproses di Pengadian Philipina. Seandainya Pemerintah Indonesia memberi ijin kepada Mary Jane Veloso untuk diperiksa di Philipina melalui pemeriksaan konfrontasi, akan terungkap bahwa orang yang memperalat atau menyuruhMary Jane membawa “ barang terlarang” itu adalah Maria Kristina Sergio.

Saya pernah membela Richard Edwin Crawly, seorang yang benar benar bandar yang ditahan di lapas Cipinang. Karena punya uang tanpa seri, dia cepat lepas. Bahkan, putusan Pengadilan Jakarta Selatan No.260/Pid/B/1997/Jkt.Sel. hanya menjatuhkan vonis 8 bulan penjara. Saya baru sadar yang bersangkutan bandar, karena ketika hendak meninggalkan Indonesia, yang bersangkutan ternyata memiliki sekitar 10 Paspor.

Saya juga pernah membela beberapa kasus narkoba. Terakhir kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Batam untuk tersangka Andi Bahar. Andi Bahar adalah seorang buta huruf, yang menyaksikan bahwa narkoba tersebut dilempar oleh oknum polisi ke kapal mereka. Anehnya kapal dari mana narkoba itu dipindahkan ke kapal Andi Bahar, tidak disita penyidik sebagai barang bukti. Pemberitaan media menyebutkan Kapolres berhasil membongkar selundupan narkoba sebanyak 20 kilogram. Namun, ketika barang bukti “katanya’ dimusnahkan, si pelaku tidak menyaksikan pembakaran barang bukti tersebut. Namun, berita acara pemusnahan barang bukti disodorkan kepada tersangka, agar tersangka menandatanganinya, padahal pemusnahan barang bukti tersebut sama sekali tidak disaksikan oleh para tersangka.

Ini menunjukkan bahwa dalam kasus kasus narkoba, kebanyakan yang tertangkap adalah orang kecil, sedang jarang bandar yang ditangkap, karena bandar punya jaringan, memperalat kaki tangan mereka agar perederan narkoba tersebut tidak terdeteksi.

Fakta hukum diatas saya sampaikan sekedar untuk memberi gambaran bagaimana Mary Jane maupun Mery Utami sangat mungkin hanyalah menjadi alat bandar untuk mengedarkan barang haram tersebut.

Karena itulah, saya sangat mendukung berbagai upaya Komnas Perempuan dan para pembela HAM di Indonesia untuk memohon Bapak Presiden memberikan grasi bagi kedua perempuan terpidana mati tersebut. Apalagi mereka berdua berasal dari keluarga miskin, yang tak punya daya memperjuangkan keadilan melalui pengacara pengacara handal.

Sebagai praktisi hukum, saya juga berkeyakinan dalam kasus Mary Jane maupun Merry Utami- pelaksanaan hukuman matinya ditunda Bapak Presiden Jokowi tentu karena didasari sejumlah pertimbangan.

Maka, demi kepastian hukum dan demi kemanusiaan, kami memandang penantian selama lebih 20 tahun (Merry Utami) dan 13 tahun (Mary Jane) sudah lebih dari cukup menyiksa, sehingga kami mengetuk hati Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan Pemberian Grasi kepada mereka atau mengubah hukuman mereka menjadi seumur hidup.

Apalagi, ketika mereka tertangkap, kedua perempuan Mary Jane dan Merry Utami bukan residivis, tidak mempunyai latar belakang pernah melakukan tindak pidana, sehingga fakta ini, seharusnya menjadi pertimbangan untuk meloloskan mereka dari hukuman mati.

Hal itu juga sejalan dengan perkembangan hukum positif di Indonesia. Kitab Undang Undang Pidana (KUHP) yang baru memberi kemungkinan perubahan hukuman mati, apabila selama 10 tahun berturut turut seorang terpidana hukuman mati, berkelakuan baik, maka yang bersangkutan diberi kesempatan mengajukan grasi agar hukuman mati dapat dipertimbangkan untuk diubah menjadi hukuman seumur hidup.

Lagi pula, falsafah Pancasila yang didasarkan Hak Asasi Manusia, yang menjadi landasan Bangsa Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sangat menaruh perhatian terhadap kehidupan warga negaranya. Saat ini, negara-negara di dunia, bahkan Amerika saja sudah setengah negara bagian yang menghapus hukuman mati.

Untuk itulah, melalui surat ini kami memohon kepada kiranya Bapak Presiden Jokowi berkenan menghentikan penantian panjang Mary Jane dan Merry Utami, sebagai perempuan dan juga ibu yang menanti keadilan.

Kini kebjiksanaan untuk menyelamatkan hidup mereka, lepas dari vonis mati memang ada di tangan Bapak Presiden Jokowi. Kami sungguh berharap, semoga Bapak Presiden mempertimbangkan pemberian grasi, sehingga memberikan keadilan bagi Mary Jane dan Merry Utami.

Sumber: Infobreaking News

Penulis: Emil F Simatupang, (Wartawan senior Hukum di MA) Redaktur hukum: Armen Simatupang

Editor: Jimmy Endey

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *