ICW Beri Catatan dan Rekomendasi Bagi KPK dan MA Terkait Napi Koruptor
Jurnal123.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pemidanaan narapidana koruptor masih lemah. Hal itu disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam rilis tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi pada 2019.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghargai hasil catatan dan rekomendasi yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW).
ICW menyebut, vonis terhadap koruptor masih terbilang rendah, bahkan ada 54 terdakwa korupsi yang divonis lepas oleh pengadilan.
“KPK menghargai hasil catatan dan rekomendasi ICW terkait putusan yang dijatuhkan dalam perkara tindak pidana korupsi tersebut,” ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Senin (20/4/2020).
Dalam catatannya, ICW menyebut sepanjang 2019, rata-rata koruptor hanya divonis 2 tahun 7 bulan. Menurut ICW terdapat 1.019 perkara korupsi yang disidangkan di pengadilan dengan 1.125 terdakwa selama 2019. Hal itu disampaikan peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam rilis tren vonis pengadilan tindak pidana korupsi pada 2019.
Dari jumlah tersebut sebanyak 842 terdakwa korupsi divonis ringan.Ia memaparkan, sepanjang 2019, tercatat 842 terdakwa divonis ringan dengan persentase 82,2 persen.”Angka ini cukup meningkat sebenarnya dibanding tahun sebelumnya yang hanya sekitar 79 persen. Tahun ini lebih banyak seluruh perkara yang divonis ringan. Jumlah terdakwa yang divonis 10 tahun sembilan orang. Persentasenya hanya 0,8 persen,” lanjut dia.
ICW juga meminta Ketua Mahkamah Agung (MA) yang baru terpilih, Muhammad Syarifuddin menyoroti secara khusus tren vonis yang masih ringan terhadap pelaku korupsi. Hal ini dapat dilakukan MA dengan menyusun dan merealisasikan pedoman pemidanaan.
Rekomendasi ICW terhadap MA itu disambut baik oleh KPK. Ali Fikri berharap MA segera menerbitkan pedoman pemidanaan.
“KPK berharap Mahkamah Agung juga dapat menerbitkan pedomaan pemidanaan sebagai standar Majelis Hakim di dalam memutus perkara tindak pidana korupsi,” kata Ali Fikri.
Selain soal pedoman pemidanaan, ICW juga berharap penegak hukum untuk tak ragu menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Menurut ICW, pasal TPPU tersebut setidaknya bisa memiskinkan pelaku korupsi.
Ia menambahkan, hal itu menunjukkan masih minimnya penggunaan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi terkait pengembalian kerugian negara.
Selain itu, ia menilai vonis yang dijatuhkan hakim kepada para narapidana koruptor juga tergolong ringan.
Ali Fikri menyebut, pihak lembaga antirasuah juga tegah memprioritaskan penanganan kasus yang berdampak signifikan pada perekonomian nasional.
“Strategi penanganan perkara gabungan pasal tindak pidana korupsi dan TPPU yang di dukung dengan satgas asset tracing sebagai upaya memaksimalkan asset recovery dan pengembalian kerugian negara,” kata Ali.
Ia mengatakan sedianya keberhasilan pemidanaan korupsi bisa dilihat dari dua hal. Pertama dari jumlah pengembalian kerugian negara yang disebabkan kasus korupsi yang terjadi.
Kedua ialah melalui berat atau ringannya vonis yang diberikan hakim.
Ia memaparkan berdasarkan temuan ICW, total kerugian negara yang disebabkan oleh kasus korupsi pada 2019 sebesar Rp 12 triliun namun jumlah uang pengganti hanya Rp 748,1 miliar.
Ia mengatakan sedianya keberhasilan pemidanaan korupsi bisa dilihat dari dua hal. Pertama dari jumlah pengembalian kerugian negara yang disebabkan kasus korupsi yang terjadi.
Kedua ialah melalui berat atau ringannya vonis yang diberikan hakim.
Ia memaparkan berdasarkan temuan ICW, total kerugian negara yang disebabkan oleh kasus korupsi pada 2019 sebesar Rp 12 triliun namun jumlah uang pengganti hanya Rp 748,1 miliar.
Editor : Jimmy Endey