BUMN, Pertahanan Terakhir Ekonomi RI
Oleh Derek Manangka
Isu yang tergolong cukup hangat berkembang saat ini – soal perlunya perusahaan milik negara (BUMN – Badan Usaha Milik Negara) dijual ke pihak swasta. Penjualan dimaksudkan untuk menutupi kekurangan dana yang dimiliki pemerintah. Dari hasil penjualan itu, diharapkan pemerintah memperoleh tambahan dana sehingga lebih mampu memacu pembangunan.
Suara tentang penjualan ini, didengungkan pertama kali oleh pejabat pemerintah kemudian. Gayung bersambut. Karena kalangan swasta, terutama dari kalangan KADIN Indonesia, langsung merespondnya secara positif.
Wajar jika gagasan untuk menjual perusahaan milik Negara ini mendapatkan perhatian. Terutama di kalangan pebisnis atau pegiat usaha alias pengusaha. Karena asset dan nilai kekayaan BUMN itu relatif cukup besar.
Data yang belum terotorisasi antara lain menyebutkan, jumlah BUMN saat ini, tidak kurang dari 130 buah. Andaikan harga jual sebuah BUMN sebesar Rp. 10,-triliun, maka hasil penjualan tersebut bisa mencapai Rp. 1.300,- triliun, memberi pemasukan lebih dari separuh APBN 2017 – 2018 yang besarnya berada pada kisaran Rp. 2.100 triliun.
Sementara di pihak lain, kekecewaan. Karena harapan agar pengoperasian BUMN itu bisa berkontribusi bagi ketahanan eknomi bangsa, tidak tercapai.
Tidak sedikit BUMN yang merugi sehingga timbul banyak tanda tanya, apakah hal itu diakibatkan oleh ketidak mampuan bersaing, tidak profesionalnya Direksi yang dipercaya mengelola atau karena factor korupsi ?.
Sejumlah BUMN bahkan terkesan hanya menjadi tempat ‘bancakan’ atau ATM oleh oknum-oknum ataupun organisasi tertentu – untuk memperkaya diri mereka sendiri.
Perusahaannya merugi, tetapi para direksi atau eksekutif perusahaan milik Negara itu, hidup bergelimangan harta alias kaya raya.
Tanpa harus menyebut nama pejabatnya, termasuk nama perusahaan milik negara, mari kita melihatnya dengan kuping atau memantaunya dengan mata secara random.
Jangan terkejut. Sebab sejumlah mantan direksi BUMN dan perusahaan negara yang sudah mereka tinggalkan rata-rata kehidupan mereka cukup mapan. Secara financial okey atau dari segi kehidupan sosial cukup sejahtera.
Bukan rahasia lagi jika ada media yang memberitakan, sejumlah mantan direksi BUMN memiliki rumah di Australia, apartemen di Singapura dan anak-anak mereka rata-rata mengikuti pendidikan di lembaga pendidikan yang mengutip uang kuliah dengan cukup mahal.
Hal mana menandakan, ada uang yang mengalir ke keluarga anggota direksi. Atau asumsi lain menyebut bahwa BUMN sulit menjadi perusahaan yang sehat – sehingga perlu dijual, tidak tepat.
Dan inilah yang menjadi salah satu keprihatinan oleh sejumlah pelaku bisnis. Di antaranya Suryo Bambang Sulisto (SBS), mantan Ketua Umum KADIN Indonesia dan mantan Komisaris BUMN serta Duta Besar Keliling untuk kawasan benua Amerika .
SBS mengakui memang tidak semua BUMN memiliki performa yang baik. Namun yang dikatakan baik dan menguntungkan sesungguhnya mempunyai kemampuan untuk mendapatkan keuntungan jauh lebih besar bagi Negara, apabila dikelola dengan lebih baik. Belum optimal kinerjanya dan masih terlalu banyak inefficiency dimana-mana.
Begitu juga tidak semua bidang harus ditangani oleh perusahaan pemerintah.
Nah SBS punya pandangan atau sependapat dengan Presiden bahwa banyak bidang-bidang yang sebenarnya tidak perlu BUMN terlibat.
Untuk urusan “catering”, misalnya tidak seharusnya ditangani oleh sebuah BUMN.
Sadar akan apa yang menjadi kelemahan BUMN, SBS berpendapat harus ada jalan keluar yang dilakukan oleh pemerintah.
Namun begitu SBS tidak sependapat kalau jalan keluarnya adalah menjual BUMN ke swasta.
Kehadiran dan peran BUMN adalah mutlak sebagai benteng perekonomian Negara dari kemungkinan penguasaan serta dominasi asing.
Oleh karenanya untuk sektor-sektor tertentu tetap harus dikuasi Negara dengan satu catatan, harus dikelola secara professional.
“Manajemen BUMN harus dimodernisasi sesuai perkembangan dunia usaha. CEO-nya bila perlu orang asing yang berpengalaman sesuai bidang usaha BUMN tersebut.”
Coba lihat bagaimana majunya Petronas, Malaysia, Sime Darby, Singapore Airlines.
Mereka tidak segan memakai tenaga-tenaga profesional asing apabila memang keahliannya diperlukan demi kemajuan perusahaan Negara, kata SBS.
Nanti, ujar SBS lagi, kalau sudah sehat dan menguntungkan, barulah sahamnya ditawarkan kepada publik melalui pasar modal. Sehingga pemerintah bisa mendapatkan harga optimal. Namun saham mayoritas tetap harus dikuasai negara.
Untuk saat ini, SBS khawatir, jika penjualan BUMN dilakukan, kesannya terburu-buru dan pasti harganya kurang baik dan akhirnya Pemerintah akan menyesal seperti halnya yang terjadi dengan Indosat.
Satu hal yang perlu menjadi perhatian bagi BUMN seperti Jasa Marga yang mengelola jalan tol dimana untuk ruas tertentu sangat menguntungkan dan investasinya sudah kembali berlipat kali…..
Maka menurut SBS ruas jalan tol tersebut seyogyanya menjadi “public domain,” dikembalikan kepada milik publik.
Sehingga rakyat dapat menggunakannya tanpa dipungut bayaran.
Oleh karenanya tidak tepat apabila jalan-jalan tol yang seharusnya ‘public domain’ tersebut dijual ke swasta. Yang dapat ditawarkan oleh pemerintah kepada swasta adalah membangun jalan-jalan tol baru dengan memberikan dukungan fiscal dan moneter yang merangsang dan menarik bagi investasi swasta.
Pajak yang menarik dan bunga bank yang ringan. Itupun harus dalam bentuk BOT (Build Operate Transfer) yang fair dan Win Win.
Katakanlah seandainya suatu investasi jalan tol tertentu memerlukan waktu pengembalian investasi selama 15 tahun, maka berikanlah masa BOT selama 25 tahun. Dengan demikian si investor dapat menikmati keuntungan selama 10 tahun. Setelah 25 tahun maka jalan tersebut harus diserahkan kepada Negara. ***