HukumNusantara

YLBHI Tuntut Dihapusnya UU Penistaan Agama Karena Sering Dipolitisasi

img_feature_ylbhi

JURNAL123, JAKARTA.
Fenomena politisasi isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) yang belakang ini mencuat dan menyandera bangsa, membuat dorongan penghapusan Undang-Undang (UU) tentang Penodaan Agama kembali muncul.

Direktur Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bahrain mengatakan sudah seharusnya aturan mengenai penistaan agama dihapuskan, yaitu UU No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a dalam KUHP. Sebab, dianggap sebagai alat untuk kepentingan politik.

“UU tentang penistaan agama kalau bisa dihapuskan. Inikan sebenarnya karena ada pasal itu. Sepanjang itu masih ada itu pasti dimanfaatkan. Kita melihat banyak hal dimanfaatkan untuk justru tidak hanya mendiskriditkan satu golongan atau keyakinan bahkan bisa menjadi pembunuhan. Kita tahu Cikesik Ahmadiyah itu bagaimana. Padahal kan mereka hadir dalam konteks keberagaman Indonesia,” katanya, Jumat (18/11).

Sebagai gantinya, Bahrain mendesak agar aparat kepolisian menindaktegas para penyebar kebencian dan kekerasan. Termasuk, pihak yang menyebarkan isu SARA. Sebab, jika dibiarkan akan menjadi gangguan keamanan yang serius.

“Jangan sampai gangguan keamanan ini tidak bisa ditangai, ujungnya darurat militer. Kudeta jadinya kan. Ketika dalam kondisi betul-betul tidak tertib, konflik horizontal di mana-mana, itu memungkinan (kudeta),” ujarnya.

Apalagi, dalam pandangannya, ada dorongan untuk menggulingkan kekuasaan dari negara demokrasi ke wilayah otoriter yang terpicu dari politisasi kasus dugaan penistaan agama yang menyebabkan gejolak di beberapa daerah.

Oleh karena itu, dia menegaskan sudah saatnya pemerintah bertindak tegas terhadap pelaku penyebar kebencian dan lebih banyak membuka dialog mengenai isu yang sensitif.

“Harus ada saluran yang tepat yang dilakukan pemerintah. Dalam hal ini, siapapun yang melakukan ujaran kebencian, baik atas nama agama, budaya, masyarakat, sosial itu harus ditindak. Dalam arti ditindak bukan harus di hukum, tidak. Karena ruang-ruang pendapat juga diberikan ruang dalam konteks dialog. Negara yang bermartabat kan dialog, musyawarah,” paparnya.

Sebagaimana diketahui, uji materi terhadap Undang-undang No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pernah dilakukan tahun 2009. Tetapi, ditolak Mahkamah Konsitusi (MK), dengan pertimbangan ketertiban umum. Kemudian, pada 2013, UU yang sama pernah diajukan kembali ke MK, tetapi kembali ditolak.(BES)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *