Hukum

Indrayana Dilaporkan, LBH Ingatkan Yurisprudensi MA

Prof Denny Indrayana
Prof Denny Indrayana

JAKARTA, JURNAL123.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana menganggap pelaporan dirinya ke kepolisian merupakan bentuk pemasungan kebebasan berpendapat. Denny dilaporkan dengan tuduhan melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik Komisaris Jenderal Budi Gunawan.

“Ini adalah pemasungan atas kebebasan berpendapat. Pembungkaman dengan cara-cara otoriter seperti ini tentu tidak dapat ditoleransi dan harus dilawan,” ujar Denny saat dihubungi, Kamis (5/2/2015).

Denny menyayangkan langkah pelaporan tersebut hanya karena menggunakan analogi “pendekar mabuk” yang ditujukan ke Budi. Ia melontarkan istilah tersebut sebagai bentuk penolakan atas sikap-sikap Budi yang tidak kesatria sebagai calon kepala Polri.

“Karenanya, saya merasa berkewajiban menyampaikan penolakan dengan pernyataan yang jelas dan tegas. Sikap jelas dan tegas saya dengan menggunakan analogi ‘jurus pendekar mabuk’ itu malah dikriminalisasi,” kata Denny.

Denny mengatakan, “jurus pendekar mabuk” digunakannya sebagai analogi sikap Budi yang dianggapnya memberikan contoh buruk dalam penegakan hukum. Menurut dia, keengganan Budi mengundurkan diri dari pencalonan kepala Polri menunjukkan bahwa Budi memang benar-benar “mabuk”.

“Pilihan-pilihan sikap tidak normal oleh Budi Gunawan itulah yang saya analogikan sebagai ‘jurus pendekar mabuk’ karena memberikan contoh buruk dan bisa merusak tatanan hukum acara pidana,” kata Denny.

Denny dilaporkan oleh Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat) ke Polres Metro Jakarta Barat. Denny dianggap telah melakukan pencemaran nama baik atas pernyataannya yang mengatakan Komjen Budi Gunawan menggunakan “jurus mabuk”.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Alvon Kurnia, mengatakan, pelaporan seperti itu adalah hak tiap warga negara. Tetapi dia meminta polisi berhati-hati untuk memeriksa kasus ini. Terlebih, Mahkamah Agung (MA) sudah punya yurisprudensi terkait hal serupa.

“Artinya polisi ini harus memperhatikan apakah perbuatan yang dilaporkan ini mengandung unsur pidana atau tidak? Yurisprudensi MA ini juga harus diperhatikan,” ujar Alvon saat berbincang, Kamis (5/2/2015).

Dia juga mengatakan, MA sebelumnya banyak memutuskan perkara seperti ini, salah satunya ialah kasus status BBM berujung pidana penjara yang dilakukan oleh aktivis bernama Arsyad di Makasaar. Dalam perkara itu, Arsyad divonis bebas.

“Jadi polisi harus objektif memeriksa kasus ini, harus diperhatikan putusan-putusan pengadilan di kasus serupa,” ujarnya.

Alvon juga menduga pelaporan ini pasti memiliki background politik yang kuat. “Polisi harus objekif jangan jadikan masalah ini yang merupakan masalah individu menjadi masalah antar lembaga,” ujarnya.

Yurisprudensi ini dibuat saat MA mengadili pegiat antikorupsi Hamdan Saragi. Hamdan membentangkan spanduk yang mengkritik ulah pejabat setempat, seperti:

‘Usir!! Kepala P2SDKP dari Bumi Tanjungbalai Asahan Diduga Mengeluarkan SLO Pukat Tarik Dua dan Melindungi Cukong Illegal Fishing’

Atas kritikan ini, Hamdan dipolisikan. Dalam putusannya, MA membebaskan Hamdan dan menyatakan kritik terhadap pejabat negara bukanlah pidana. Duduk sebagai ketua majelis Zaharuddin Utama dengan anggota Andi Abu Ayyub Saleh dan Sofyan Sitompoel.(KOM/DET)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *