Putusan PKPU PN Niaga Jakarta Pusat Dinilai Janggal, MA Akan Pelajari Jika Ada Aduan
Jurnal123.com – Dianggap telah menabrak ketentuan hukum dengan membuat putusan yang salah, majelis hakim yang menangani perkara No.211/Pdt.SusPKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst dilaporkan ke Komisi Yudisial sekaligus juga diadukan ke Mahkamah Agung (MA).
Menurut kuasa hukum Johannes Karundeng Direktur Utama PT Budi Kencana Megah Jaya (dalam PKPU), Renita Girsang, BA., SH., dari Kantor Hukum Yan Apul dan Rekan, majelis hakim telah membuat putusan yang salah dan mengesampingkan bukti-bukti terdahulu.
“Putusan yang secara kasar menyakiti rasa keadilan dan lunturnya kepercayaan terhadap penegakan hukum terjadi pada perkara permohonan PKPU yang diajukan oleh PT Gugus Rimbarta dan CV Teguh Persada terhadap PT Budi Kencana Megah Jaya,” kata Renita kepada wartawan Senin (28/9/2020).
Dia menjelaskan, penolakan PKPU-1, hakim menilai ada pekerjaan yang belum selesai, dan hutang yang jatuh tempo dan dapat ditagih juga tidak jelas kapan jatuh tempo dan besaran uang sehingga tidak bersifat sederhana dan perlu pembuktian tersendiri. Tiga surat pernyataan yang dijadikan alat bukti dinilai tidak jelas.
Begitu juga dengan permohonan PKPU ke-2, ke-3, dan ke-4, ditolak karena pemohon hanya mengajukan tagihan berdasarkan satu SPK saja yang sudah dibuktikan di pengadilan telah dibayar lunas.
Anehnya, pada permohonan PKPU ke-5 No.211/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga.Jkt.Pst., majelis hakim mengabulkan permohonan PKPU yang telah diuji 4 kali di Pengadilan Niaga. “Dasar pertimbangannya, ketiga Surat Pernyataan yang sebelumnya dianggap tidak bisa menjadi dasar permohonan PKPU, kali ini malah dinilai sudah merupakan bukti pengakuan adanya hutang, maka bukti-bukti Termohon PKPU lainnya dikesampingkan,” terangnya.
Bahkan, Renita menduga ada permainan mafia peradilan yang mempengaruhi putusan hakim.
Menurut Renita, hakim yang menyidangkan perkara ini telah menabrak undang-undang karena tidak memenuhi ketentuan dan melanggar Pasal 222 ayat (3), Pasal 8 ayat (4), dan Pasal 271 Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, juga melanggar Asas Keseimbangan, yaitu memfasilitasi terjadinya penyalahgunaan Pranata dan Lembaga Kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik. Juga melanggar Asas Keadilan karena tidak memenuhi rasa keadilan bagi Termohon PKPU akibat terjadinya kesewenang-wenangan.
Lebih dari itu, putusan tersebut juga melanggar hak konstitusional Termohon PKPU akibat implementasi norma hukum yang salah sehingga Termohon PKPU terjebak atau dijebak, sehingga masuk perangkap Pasal 235 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU yang menyatakan tidak ada upaya hukum terhadap putusan PKPU.
Dalam suratnya bernomor 044/YAR-JD/IX/20, Renita melaporkan majelis hakim Robert, SH., M.Hum., Tuty Haryati, SH., MH., dan Moechammad Djoenaidie, SH., MH., kepada Komisi Yudisial karena dinilai telah melanggar kode etik dan Pedoman Perilaku Hakim, serta tidak menjaga kehormatan dan tidak profesional dalam menangani perkara PKPU ini.
Renita berharap Komisi Yudisial dapat mengambil tindakan tegas terhadap para hakim tersebut serta memulihkan tingkat kepercayaan terhadap penegak hukum di Indonesia yang semakin lama kian kabur/tidak jelas.
Selain itu, Renita juga secara khusus telah menyurati Presiden Joko Widodo dan meminta agar lebih serius lagi memberantas mafia peradilan karena faktanya masih ada.
“Presiden Jokowi sudah berjanji akan menggigit sendiri mafia-mafia peradilan yang masih mencoba ‘memperdagangkan’ perkara. Ini saat yang tepat untuk memberangus para mafia hukum tersebut,” tegas Renita.
General Manager PT Budi Kencana Megah Jaya (PT BKMJ), Donny Yahya mengatakan, terdapat dua poin penting dalam yang menjadi catatan PKPU 211 ini.
Pertama, pekerjaan itu berhenti total di progres 72,72%/. “Itu berhenti di 25 Desember 2008. Kemudian mereka mengajukan satu progres seolah-olah sudah selesai seratus persen pada 26 Oktober 2009. Tetapi kita tolak dari tim kita, karena memang belum kerja belum seratus persen,” jelasnya.
Kedua, BMKJ tetap memberikan cicilan pembayaran walaupun sudah tidak jelas untuk apa pembayaran itu.
“Buat bayar apa, tidak jelas. Tapi karena dia tagih terus, kita bayar sampai terakhir pada 28 Februari 2013. Jadi di sini jelas, bahwa proyek berhenti total 26 Oktober 2009 dengan posisi 72,72% kemudian, pembayaran kami itu berhenti di 28 Februari 2013,” bebernya.
Menurut Donny, pada upaya permohonan pailit di Tahun 2013, pertimbangan Majelis Hakim menjelaskan, utang yang jatuh tempo tidak jelas dan pekerjaan belum selesai seratus persen.
Kemudian digugat lagi PKPU 2018 sebanyak tiga kali. Nah, di PKPU kelima tahun 2020, masalah Surat Perintah Kerja (SPK) masih didalilkan padahal diputuskan pengadilan sudah lunas.
“Makanya putusan 211 itu aneh juga, karena posisi proyek tidak bergerak dan posisi pembayaran sama. Jadi menurut saya, dengan fakta yang sama dan putusan yang berbeda karena memang waktu itu yang dipertimbangkan oleh Majelis Hakim hanyalah bukti-bukti dan dalil-dalil dari Pemohon, sementara bukti-bukti dan dalil dari Termohon itu dikesampingkan,” tutur Donny.
Donny menambahkan, pekerjaan sudah seratus persen itu dilakukan dengan bukti Berita Acara Serah Terima.
“Padahal berita acara serah terima itu saya bisa pastikan itu tidak benar,” tegasnya.
Sebab, kata Donny, untuk menghasilkan berita acara serah terima dia harus dilengkapi progres proyek seratus persen padahal ini baru 72,72%.
Donny menantang agar hal itu dibuktikan. Sebab, Donny sendiri mengatakan, pihaknya bisa membuktikan bahwa di lokasi ada material yang sudah di-supplay, tapi belum terpasang.
Pekerjaan mekanikal dan elektrikal, lanjutnya, harus dilengkapi dengan manual book. Nah itu belum ada sama sekali. Jadi secara kasat mata pun, bisa dilihat belum 100 %.
“Pada 26 Oktober 2009 mereka mengajukan progres seolah-olah seratus persen padahal belum. Itu yang mereka dalilkan. Tapi ini sudah jadi keputusan hukum, jadi kita harus hormati,” jelas Donny.
Dihubungi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) yang juga Ketua Kamar Pengawas Andi Samsan Nganro berjanji akan mempelajari serta menindaklanjutinya.”Jika ada pengaduan tentu kami akan pelajari dan telaah isi pengaduannya, apakah masalahnya termasuk dugaan pelanggaran kode etik dan PPH ataukah termasuk masalah teknis yudisial,” jelas Andi Samsan kepada Jurnal123.com dihubungi lewat ponselnya.(JIM)