Kalimantan Selatan

Solidaritas untuk Diananta: Jurnalis di Banjarmasin yang Dipenjara karena Berita

Jurnal123.com – Wahyu Widianingsih dinyatakan rumah sakit Banyuwangi bebas COVID-19 berdasar rapid test. Dia terbang ke Banjarmasin untuk menamani suaminya, Diananta Putra Sumedi yang dipenjara karena pasal karet UU ITE.

Diananta saat ini menjadi tahanan kejaksaan setempat setelah mengalami kriminalisasi atas berita yang dibuatnya pada akhir 2019. Dia dituduh bersalah lantaran beritanya mengenai konflik lahan di Kalimantan Selatan dicap memicu kebencian bermuatan SARA.
“Saya kan ke sana itu kan tujuannya untuk memberikan semangat ke Mas Nanta. Saya enggak mau menangis di depan Mas Nanta atau ada raut sedih di depan dia,” kata Wahyu seperti dilansir Tirto, Senin (1/6/2020) kemarin.

Wahyu berencana menemani Diananta selama dua bulan saat masa persidangan mendatang. Putri satu-satunya dari Diananta dan Wahyu yang berumur 7 tahun, akan dititipkan neneknya di Banyuwangi.
“Sama ibu saya mengingat apa ya riskan banget apalagi kondisinya lagi begini. Kan perjalanan ke Kotabaru di tengah pandemi,” ujarnya.

Ia mengaku selama Diananta tersangkut kasus, kondisi keuangan keluarga amburadul. Diananta adalah tulang punggung keluarga. Wahyu hanya ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya mengurus putri mereka.
Ia bersyukur di tengah terpaan kasus, tak sedikit solidaritas dari kolega sesama wartawan Diananta dan upaya bantuan hukum untuk suaminya. Wahyu sangat berharap kuasa hukum bisa dengan maksimal membela Diananta di persidangan.
“Terima kasih sudah dukung dan kawal kasus suami saya. Sampai saat ini pun terima kasih udah diusahakan untuk mendampingi kasus ini. Semoga juga Mas Nanta diberi ketabahan kuat untuk menghadapi musibah ini. Demikian juga ini keluarga juga semoga bisa melewati masalah ini segera,” ungkapnya.

Wahyu mungkin terkejut melihat suaminya yang dulu berambut gondrong, kini telah pelontos setelah ditahan. Kondisi Diananta saat ini sehat. Kali terakhir diperiksa dokter pada 26 Mei lalu. Kesehatannya terus dipantau Koalisi Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers.

Solidaritas kasus Diananta terus mengalir. Baru-baru ini, inisiatif untuk membantu keluarga Diananta dan sang istri juga muncul dari aliansi masyarakat sipil, dari unsur jurnalis, aktivis, hingga pegiat media.

Mereka tergabung dalam Koalisi untuk Masyarakat Adat dan Kebebasan Pers. Sebuah pamflet berisi penggalangan donasi untuk Diananta tersebar di sosial media.

Koordinator Divisi Logistik Koalisi, Ika Ningtyas mengatakan, inisiatif penggalangan dana untuk Keluarga Diananta muncul darinya. Ika punya ikatan geografi dengan Wahyu sebagai sesama warga Banyuwangi.

Ika dan Diananta pun pernah sama-sama menjadi koresponden Tempo. Apalagi, kata Ika, Diananta adalah tulang punggung Wahyu dan anaknya.

Semula penggalangan dana hanya untuk kawan-kawan di lingkaran wartawan lewat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Kemudian meluas lewat koalisi untuk memungkinkan penggalangan dana hingga peneliti, aktivis, dan masyarakat adat.
“Penggalangan donasi publik mulai 24 Mei, itu sudah mulai terbuka. Akhirnya diperluas ke temen-temen yang lain sampai 31 Mei. Kita sudah bisa menggalang 14 juta,” kata Ika saat dihubungi, Senin (1/6/2020).
Koalisi menargetkan penggalangan dana hingga Rp15 juta. Angka tersebut diperhitungkan untuk membiayai keluarga Diananta, transportasi kuasa hukum, dan bekal makanan Diananta selama di tahanan sepanjang Juni-Juli mendatang.
“Alhamdulillah banyak support dari beberapa lembaga. Jadi nanti setelah bulan Juli nanti akan didukung oleh beberapa lembaga,” katanya.
Dukungan terhadap Diananta penting karena tak sedikit jurnalis yang menghadapi kriminalisasi karena berita. Mereka dilaporkan narasumber dengan UU ITE.

SAFEnet, sebuah organisasi kebebasan sipil di Asia Tenggara, mencatat tren pemidanaan jurnalis Indonesia dengan UU ITE meningkat. Sejak 2008 hingga 2018, ada 16 kasus hukum, dalam upaya memidana 14 jurnalis dan 7 media dengan pasal karet UU ITE.

Kejanggalan Kriminalisasi Diananta

Semula Diananta berkarir sebagai ‘koresponden’ wartawan tak tetap di media nasional Tempo di Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Di tengan tren pertumbuhan media daring nasional, ia memperoleh peluang membuat media daring lewat program 1001 media partner Kumparan.

Lewat media lokal rintisan Banjarhits.id, Diananta menjabat sebagai pemimpin redaksi (pemred) sekitar 2018 hingga 2020. Jumlah kru Banjarhits tak sampai 10 orang, termasuk Diananta yang bertugas mengkurasi dan membuat berita. Setelah Diananta jadi tersangka kasus pasal karet UU ITE, Banjarhits tak lagi menjadi mitra Kumparan.

Kendati Banjarhits sudah berhenti beroperasi sejak Februari 2020, tapi Kumparan masih menayangkan beritanya di microsite mereka.
Kasus Diananta berawal pada 9 November 2019. Dia membuat berita mengenai konflik lahan di Kalimantan Selatan berjudul “Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu ke Polda Kalsel” yang dimuat Banjarhits dan Kumparan.
Salah seorang narasumber di dalam berita bernama Sukirman justru melaporkan Diananta ke polisi atas pelanggaran UU ITE berkaitan berita bohong dan berbau SARA. Sukirman membantah berita tersebut.

Sukirman dalam berita yang dibuat Diananta menyebut dirinya sebagai anggota Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan yang awalnya memprotes dugaan perampasan lahan. Sukirman justru berbalik arah dengan melaporkan Diananta ke Polda Kalimantan Selatan.
Di sisi lain, Sukirman juga melaporkan berita ke Dewan Pers pada 5 Februari 2020. Dewan Pers menyatakan bahwa redaksi Kumparan menjadi penanggung jawab atas berita yang dimuat Banjarhits.

Dewan Pers juga memutuskan berita yang dilaporkan melanggar Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik karena menyajikan berita yang mengandung prasangka atas dasar perbedaan suku (SARA).

Dewan pers kemudian merekomendasikan Kumparan selaku teradu untuk menjawab pencabutan berita. Rekomendasi Dewan Pers ditandatangani dalam lembar Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Seharusnya masalah sengketa pers ini selesai setelah Kumparan melalui Banjarhits memuat hak jawab dari Sukirman dan menghapus berita yang dipermasalahkan.

Namun, penyidik Polda Kalsel tetap memproses kasus tersebut sejak 26 November 2019 lewat surat Nomor B/SA-2/XI/2019/Ditreskrimsus.
Padahal antara Polri dan Dewan Pers ada nota kesepahaman dalam kerangka penanganan sengketa pers sejak 2017. Dewan Pers menjadi lembaga yang berwenang menangani sengketa, bukan kepolisian.

Polda Kalsel beralasan berita Diananta yang dilaporkan bukan produk jurnalistik, karena medianya tak memiliki badan hukum. Polisi menerapkan pasal 28 ayat 2 juncto pasal 45 ayat 2 UU ITE. Diananta langsung ditahan setelah jadi tersangka sejak 4 Mei 2020.
Polisi bahkan tak bergeming saat ada puluhan orang di Kalsel mengajukan penangguhan penahanan Diananta. Polisi justru tancap gas. Kasusnya kini telah dilimpahkan ke kejaksaan pada 19 Mei lalu.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mendesak agar Kejaksaan setempat tidak melanjutkan kasus Diananta ke meja hijau. Mereka meminta kejaksaan menghentikan penuntutan karena kasus sudah diselesaikan lewat Dewan Pers.
“Mendesak Kejaksaan untuk mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam kasus Diananta ini. Sebab, kasus ini sudah diselesaikan melalui mekanisme di Dewan  Pers sesuai amanat Undang Undang Pers dan MoU Polri dan Dewan Pers,” kata Ketua AJI Indonesia Abdul Manan.

Salah satu kuasa hukum Diananta, Bujino Aprianus Salan, mengatakan ada beberapa upaya hukum yang bisa dilakukan oleh tim hukum dalam membantu Diananta.

Salah satunya dengan upayakan praperadilan sebelum kasus Diananta resmi dilimpahkan kejaksaan ke pengadilan.

Ia mengatakan, saat ini Diananta masih menjadi tahanan kejaksaan dan pernah mendapat kabar terkait pelimpahan kasus ke pengadilan setelah Lebaran.
“Saat ini memang ada peluang kita ajukan praperadilan. Tapi sangat tipis karena ada ‘permainan’. Karena biasanya kalau kita ajukan praperadilan tapi kasusnya ke-blow up media, dia langsung disidangkan. Pokoknya bagaimana caranya pra-peradilan bisa gugur,” kata Bujino, kemarin.

Bujino mengaku akan melihat perkembang pada hari ini Selasa (2/6/2020) hingga Kamis (4/6/2020) mendatang apakah memang kasus Diananta sudah dilimpahkan pengadilan atau belum.
“Tapi biasanya kalau sudah ada berita, pasti langsung dilimpah. Malah mempercepat. Karena dia tahu strategi kita. Enggak mau pegang kasus lama-lama. Dia enggak mau pegang bola panas,” katanya.

Namun, lanjut Bujino, jika memang kasus Diananta sudah masuk ke pengadilan, ia akan melakukan upaya hukum dengan mengajukan eksepsi atau keberatan di ranah hukum acara pidana. Khususnya terkait kasus Diananta yang sidangkan di Kotabaru, bukan di Banjarmasin.
“Kejadian di Banjarmasin, tapi diadilinya di Kotabaru. Dalam hukum acara memang boleh, tapi ada syarat: apabila perkara dianggap meresahkan menimbulkan kekacauan atau saksi banyak di luar kota tersebut,” katanya.
“Tapi itu semua harus ada persetujuan penetapan dari Kejaksaan Agung atau MA. Nah sekarang, alasannya apa? Ada enggak persetujuan dari Kejaksaan Agung atau MA? Kalau itu enggak ada, ya pelanggaran hukum acara,” lanjutnya.

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis, Sasmito Madrim, menyebut pihaknya pun sedang melakukan upaya lain. Salah satu meminta Kumparan, sebagai media nasional yang mitra Banjarhits untuk ikut bertanggung jawab atas kasus ini.
“Padahal tanggung jawab ketika ada kasus sebenarnya perusahaan medianya. Apalagi di PPR pada Februari lalu, Dewan Pers memutuskan tanggung jawabnya adalah Kumparan. Faktanya hari ini Kumparan tidak bersedia,” kata Sasmito, Senin kemarin.
“Kita ingin kampanyekan itu sih sebenarnya. Kalau ada kasus, ya tanggung jawab perusahaan, bukan jurnalisnya. Apalagi di perusahaan yang tanggung jawab utama ya si pemrednya. Kita berharap Kumparan mau ikut tanggung jawab. Litigasi dan non-litigasi mereka enggak muncul sama sekali. Berlindung di balik MoU Kumparan,” lanjutnya.
Sasmito juga mengatakan bahwa pihaknya akan mencoba mengkampanyekan agar kedepannya media-media besar lainnya lebih memperjelas perjanjian kerja sama dengan media-media lokal.
“Kedepannya, MoU seperti ini harus diperjelas. Tidak hanya dalam kasus Kumparan. Media besar dengan media lokal yang lain juga demikian. Harusnya perjanjiannya harus lebih aman. Perlu ada perbaikan yang lebih menguntungkan kedua pihak. Jangan satu untung, tapi satu buntung,” katanya.

Tak hanya itu, kampanye diperlukan agar media tak takut dikriminalisasi, sehingga menerapkan swasensor. Pasalnya, kata Sasmito, sejak kasus Diananta mencuat, akhirnya banyak media yang memberlakukan swasensor.
“Kasus Diananta jadi pertaruhan kebebasan pers kita. Ketika sebelum diketuk di pengadilan saja ini sudah membuat khawatir kawan-kawan media menulis yang kritis. Apalagi kemudian diketuk di pengadilan,” katanya.

Sebagai kampanye publik, petisi untuk membebaskan Diananta Putra Sumedi juga telah diluncurkan di situs web Change.org. (TIR)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *