Hukum

Prihatin Minimnya Hakim Agung TUN dan Pemahaman Aparat Kejaksaan Terkait PK Tumenggung

Jurnal123.com – Kondisi peradilan di Indonesia amatlah memprihatinkan. Khususnya yang kini dialami Mahkamah Agung (MA) saat ini. Keprihatinan tersebut didasari minimnya Hakim Agung Tata Usaha Negara (TUN) yang hingga kini belum bertambah, belum lama ada tambahan Hakim Agung yang diseleksi lewat Komisi Yudisial serta Komisi III DPR RI, namun tak satupun Hakim Agung TUN yang lolos. Hal ini yang membuat keprihatinan, mengingat proses putusan kasasi TUN bakal menjadi lambat akibat hal tersebut.

Kedepan perlu dipertimbangkan proses seleksi atas calon Hakim Agung yang melewati jalur politik apakah masih efektif?

Menambah keprihatinan dibidang hukum juga akibat adanya kekurangpahaman jaksa penuntut umum yang melakukan Peninjauan Kembali (PK). Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa SH Mhum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung menegaskan jika Jaksa KPK tidak punya legal standing untuk mengajukan PK atas vonis bebas mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.”Sesuai putusan MK nomor 133 intinya sesuai Pasal 263 ayat 1 yang boleh mengajukan PK adalah terpidana dan ahli warisnya,” ujar I Gde Pantja Astawa.

Astawa menguraikan, dalam putusan MK Nomor: 133/PUU-XIV/2016 telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sehingga sudah jelas dalam putusan itu bahwa subjek yang berwenang mengajukan PK bukanlah jaksa KPK.

Dia menegaskan putusan MK itu sejalan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 04/BUA.6/HS/SP/III/2014 tanggal 28 Maret 2014 yang ditujukan keada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama di Seluruh Indonesia.
“(SEMA,-red) Ini sejalan dengan putusan MK. Artinya ketika keluar SEMA masih ada yang mengajukan PK sehingga mengacu pada MK. MK akhirnya memberikan kepastian jaksa tidak boleh mengajukan PK sesuai ketentuan SEMA,” kata Astawa.

Prof Gde Pantja Astawan menyatakan “sependapat dengan keterangan ahli Hamdan Zoelva dan Chairul Huda dalam persidangan PK tersebut. Begitu juga dengan pandangan Prof Seno Adji di media massa,”  ketika diminta menanggapi persidangan pengajuan PK di Pengadilan Tipikor Jakarta tersebut.

Hamdan Zoelva dalam persidangan (14/2/2020) menerangkan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 133/PUU-XIV/2016 (“Putusan MK No. 133”), MK telah memberikan penafsiran konstitusional atas ketentuan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP tersebut. Dalam keputusan tersebut, ditegaskan bahwa PK hanya boleh diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dengan demikian telah jelas bahwa subyek yang berwenang mengajukan PK bukanlah Jaksa. Mantan Ketua MK tersebut menambahkan, MK telah menegaskan manakala pasal ini dimaknai lain dari yang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 263 tersebut adalah inkonstitusional.

Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa SH Mhum besama CEO InfobreakingNews Emil Simatupang (Foto Istimewa)

Adapun ahli Dr. Chaerul Huda, S.H., M.H., dalam persidangan berpendapat Putusan MK No. 133 sudah tepat, dimana MK menegaskan bahwa norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP itu konstitusional sepanjang ditafsirkan seperti apa yang ada dalam norma itu sendiri, sehingga tidak boleh ditafsirkan lain. Ahli hukum acara pidana dari Universitas Muhamadiyah Jakarta tersebut menerangkan bahwa skema PK di desain hanya untuk terpidana dalam rangka mengoreksi putusan kasasi. Chaerul juga merujuk Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor 268 Tahun 2019 yang dengan jelas menentukan bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak dibenarkan untuk mengajukan PK.

Pendapat kedua ahli di persidangan senada dengan pandangan pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Prof. Indriyanto Seno Adji, dalam berbagai media massa beberapa waktu yang lalu. Ia menyatakan bahwa KPK sewajarnya memperhatikan legitimasi subjek pemohon PK yang limitatif, yaitu terpidana atau ahli warisnya. PK bukanlah hak dari penegak hukum.

Menurut Prof. Seno Adji, berdasarkan sejarahnya, PK lahir dalam sistem hukum pidana Perancis, dimana prinsipnya, PK atau revition digunakan sebagai basis perlindungan hak asasi manusia, khususnya rakyat yang mendapat perlakuan kesewenangan hukum dari penguasa. Intinya, PK ini hanya diberikan haknya kepada masyarakat yang jadi korban kesewenangan kekuasaan.

Editor : Jimmy Endey

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *