Politik

Penolakan Revisi UU KPK Kian Meluas, Presiden Didesak Tak Surati DPR

Save KPK

Jurnal123.com – Penolakan terhadap Revisi UU KPK yang akan dilakukan DPR RI terus meluas.

Dukungan terus mengalir bagi KPK dari berbagai kalangan, baik akademikus, lembaga keumatan/keagamaan, peneliti, maupun aktivis antikorupsi. Mereka mendukung penguatan lembaga antirasuah tersebut, bahkan mendesak Presiden tidak mengirimkan Surat Presiden ke DPR sehingga pembahasan revisi UU KPK akan terhenti.

Lembaga keumatan yang terdiri atas Lakpesdam PBNU, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), serta Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) misalnya, mendesak Presiden untuk tidak mendukung pelemahan pemberantasan korupsi.
”Kami meminta Presiden untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) terkait revisi UU KPK kepada DPR sehingga pembahasan revisi akan terhenti,” tandas perwakilan Matakin Peter Lesmana di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Selasa (10/9). Lembaga keumatan juga mendesak DPR berhenti melakukan tindakan yang mendukung pelemahan pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya pelemahan KPK.

Mereka mengajak masyarakat tetap menyuarakan dan mengadang pelemahan KPK karena korupsi adalah akar kemiskinan dan merenggut hak-hak masyarakat secara umum. “Pernyataan sikap ini berlandaskan nilai-nilai keagamaan yang kami yakini. Semoga seruan ini makin memperkuat perjuangan bersama dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tandasnya.

Desakan terhadap Presiden Jokowi juga datang dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. LIPI mendesak Presiden menolak revisi UU KPK karena revisi tersebut bertujuan melumpuhkan tugas KPK. ”Rakyat Indonesia dikejutkan oleh Rapat Paripurna DPR-dihadiri oleh hanya 77 orang dari 560 anggota DPR-yang tiba-tiba menyetujui usulan revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai usul inisiatif DPR. Proses pembahasan RUU dilakukan tanpa mengindahkan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik,” ujar Dian Aulia di Jakarta, Selasa (10/9). LIPI menilai revisi UU akan mengancam independensi KPK.

Sementara itu, kalangan akademisi juga menolak revisi UU KPK. Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria dan Ketua Dewan Guru Besar IPB Yusran Massijaya misalnya, langsung mendatangi Gedung KPK untuk memberikan dukungan moral terhadap lembaga antirasuah yang mengalami upaya pelemahan tersebut.
“Sikap IPB jelas, memberikan dukungan moral kepada KPK. Sebab IPB punya perhatian besar terkait dengan korupsi sumber daya alam. Kita melihat bahwa problem sumber daya alam di Indonesia itu masalah governance. Masalah governance itu bisa diselesaikan, salah satunya, dengan penguatan KPK ini,” ujar Arif Satria di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (10/9).

Menurut Arif, kehadiran KPK dalam kerangka investasi justru memberikan nilai positif lewat peningkatan investasi. Investor asing tentu berharap akan kepastian hukum, keteraturan, stabilitas, dan tidak menginginkan praktik-praktik korupsi dalam proses investasi. ”Karena itu, KPK tidak saja sebagai sebuah lembaga yang memiliki pilar moral bangsa tapi menurut saya mempunyai makna strategis dalam konteks pembangunan ekonomi di Indonesia,” ujar Arif. Yusran menambahkan, Dewan Guru Besar IPB tengah memikirkan cara memperkuat KPK agar bisa menjadi aset bangsa yang bisa membantu memperlancar investasi di Indonesia.
”Saya kira ini searah dengan kebijakan pemerintah kita. Jadi KPK harus kita dukung agar dia bisa benarbenar independen. Kalau dia tidak independen, itu akan sulit. Jadi dewan guru besar setahun yang lalu dengan Pak Rektor kita mencoba mengupayakan para guru besar terlibat dalam membantu KPK mengelola SDAkita,” katanya. Yusran menambahkan, KPK sebaiknya perlu mulai mengkaji di titik mana yang harus kita perbaiki, bukan melemahkan peran KPK.

Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro (Undip) juga mengeluarkan pernyataan sikap senada perihal revisi UU KPK. Mereka menolak kesepakatan DPR merevisi UU KPK karena menyalahi prosedur formal dan secara substansial mengandung upaya pelemahan KPK. Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Univeristas Diponegoro (Undip) Dr Pujiyono mengatakan, ada beberapa unsur prosedur yang dilanggar. Pertama, pengesahan RUU KPK tidak termasuk dalam RUU prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2019 karena bukan RUU yang menjadi urgensi kebutuhan hukum masyarakat Indonesia.
Kedua, Pengesahan RUU KPK cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur bahwa penyusunan RUU dilakukan berdasarkan Prolegnas. ”Pengesahan RUU KPK cacat hukum karena bertentangan dengan Pasal 65 huruf d Tata Tertib DPR,” kata Pujiyono, Selasa (10/9). Pada Pasal 65 huruf d Tata Tertib DPR RI yang menyatakan bahwa ”Badan legislasi bertugas: (d) menyiapkan dan menyusun RUU usul Badan Legislasi dan/atau anggota Badan Legislasi berdasarkan program prioritas yang sudah ditetapkan”.
Selain itu, pengesahan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 65 huruf f Tata Tertib DPR RI. Disebutkan bahwa Badan legislasi bertugas memberikan pertimbangan terhadap RUU yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar RUU yang terdaftar dalam program legislasi nasional untuk dimasukkan dalam program legislasi nasional perubahan. ”Pengesahan RUU perubahan UU KPK tidak melalui proses penilaian ke masyarakat dan seakan menjadi operasi senyap DPR untuk melemahkan KPK,” lanjutnya.

Dia juga mengatakan, unsur substansi revisi akan melemahkan fungsi KPK dan pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti KPK akan menjadi lembaga eksekutif bukan lembaga negara independen yang berhubungan dengan kekuasaan yudikatif. Hal itu berarti KPK tidak lagi Lembaga negara independen. Pembentukan Dewan Pengawas KPK, secara sistematis akan membuat kerja KPK sangat birokratis, kaku dan tidak independen. KPK dapat melakukan penyadapan hanya jika telah mendapatkan izin dari dewan pengawas, hal ini menjadi pelemahan fungsi intelijen KPK.

Dengan diberikan kewenangan SP3 kepada KPK maka penanganan kasus lama tidak dapat dilakukan karena KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara. ”KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Berpotensi ada ruang tawar-menawar dalam penangan perkara. Padahal UU KPK saat ini menganut prinsip kehati-hatian. Hal ini menyebabkan terjadinya pelemahan terhadap KPK,” terangnya.

Berdasar argumentasi tersebut Pujiyono menuntut kepada DPR menghentikan pembahasan RUU KPK. Pertama, prosedur pengesahan RUU sudah cacat hukum dan substansi RUU KPK dapat melemahkan institusi KPK. Kedua, tidak ada hal yang mendesak sehingga UU KPK harus direvisi. Pihaknya juga meminta kepada Presiden RI Joko Widodo agar tidak mengeluarkan surat presiden (surpres) kepada DPR.

Dia menilai jika nantinya presiden menyepakati pembahasan RUU KPK maka hal itu mengindikasikan presiden telah tunduk terhadap kuasa politik dan kuasa modal. Presiden seharusnya berani dan berintegritas dalam mengambil keputusan yang sejalan dengan penguatan Lembaga KPK sebagai Lembaga independen yang selama ini telah membantu dan berprestasi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Seharusnya Presiden berterima kasih kepada KPK. ”Kami menuntut presiden Joko Widodo untuk menolak pembahasan dan pengesahan RUU KPK, demi terwujudnya Indonesia yang lebih berintegritas, bebas dari korupsi sesuai amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dan Nilai luhur Pancasila,” ujarnya.

Terpisah, Menkum HAM Yasonna Laoly menyatakan telah menerima draf revisi UU KPK dari DPR. Yasonna juga menyatakan sudah mengkaji draf tersebut, namun belum bisa mengatakan apa kesimpulannya. Yasonna juga belum mendapat informasi apakah revisi UU KPK akan dibahas pada periode 2014-2019. “Saya belum mendapat informasi,” ujar Yasonna.

Terkait revisi UU, Fraksi Partai Demokrat DPR menilai KPK tidak boleh dilemahkan, tetapi harus tetap diawasi dalam melaksanakan kewenangannya sebagai lembaga antirasuah.
Hal ini disampaikan Ketua FPD DPR Edhie Baskoro Yudhoyono menanggapi banyakn penolakan terhadap revisi UU KPK. ”Kami belum mengambil sikap terkait revisi UU KPK. Tapi, nanti resminya pasti ada, saya sampaikan nanti pada saatnya Fraksi Partai Demokrat berpendapat,” ujarnya. Dia menyatakan, meski belum mengambil sikap, FPD menilai KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi tidak boleh dilemahkan. Apalagi, korupsi masih terjadi di setiap segmen kehidupan di Indonesia.

Karena itu, KPK tidak seharusnya dilemahkan, tetapi sebaliknya diperkuat mengingat KPK menjadi pilar pengawalan hukum di Indonesia. Kendati demikian, Ibas meminta agar KPK juga perlu mendengar usulan legislatif dan sebagian publik, yang menginginkan pengawasan terhadap KPK dalam menjalankan tugasnya. Terkait masalah tersebut, KPK berharap Presiden dapat melihat dan mempertimbangkan masukan dari banyak pihak sebelum menentukan keputusan terkait revisi UU KPK.

”Pernyataan dan permintaan dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari puluhan guru besar, ribuan dosen di berbagai universitas, pemuka agama hingga masyarakat sipil juga perlu menjadi pertimbangan. Penolakan publik atas revisi UU KPK tersebut tentu bukan tanpa alasan. Dari yang kita baca bersama, jika revisi terjadi yang mengandung poin-poin seperti yang dibahas akhir-akhir ini, maka bukan tidak mungkin KPK akan lumpuh dan kemudian mati,” kata Kabiro Humasnya, Febri Diansyah.(MER)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *