Dunia Diambang Resesi
Jurnal123.com – Tahun ini menjadi momentum bagi terbukanya krisis ekonomi dunia. Tidak terkecuali Indonesia akan menjadi bagian dari kemelut ekonomi dunia saat ini.
Pada awal-awal 2019, dunia sedang larut dalam euforia setelah melalui 2018 yang begitu berat. Tahun lalu, hampir seluruh dunia kecuali Amerika Serikat (AS) mengalami perlambatan ekonomi, tidak terkecuali Indonesia.
Memasuki 2019, pelaku pasar seakan lega dan siap berlari sprint. Aset-aset berisiko di negara berkembang diburu sehingga mata uang negara emerging market seperti rupiah menguat.
Sepanjang Januari, rupiah menguat 2,82% di hadapan dolar AS. Sementara selama kuartal I-2019, penguatan mata uang Tanah Air tercatat 0,97%.
Namun semakin ke sini, situasi jadi tambah runyam. Tingkat kesulitan semakin tinggi, kondisi panas di mana-mana.
Pertama, perang dagang AS-China belum juga menemukan solusi yang berarti. Sebenarnya kedua negara sempat nyaris mencapai kesepakatan damai dagang pada Mei lalu. Namun (kalau menurut versi AS) China ‘putar balik’ dan ogah menyepakati hal-hal yang sudah disetujui bersama.
Akibatnya, perang dagang pun memanas. Pelaku pasar kini menanti tanggal 1 September, karena itu menjadi momentum pengenaan bea masuk baru di AS dan China yang membuat api perang dagang semakin bergelora.
Perang dagang AS-China tidak hanya berdampak kepada perekonomian kedua negara, tetapi seluruh dunia. Sebab, AS dan China adalah dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi.
Kala dua raksasa itu saling hambat, maka rantai pasok global akan terganggu. Kala rantai pasok bermasalah, arus perdagangan dan investasi pun melambat. Dampaknya adalah perlambatan ekonomi global, yang kalau terus memburuk bukan tidak mungkin berujung menjadi resesi.
Kedua, rakyat Inggris memang sudah memutuskan keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada 2016. Namun tiga tahun setelah itu, proses perceraian ini masih ‘nyangkut’.
Bahkan proses Brexit yang rumit bin berbelit-belit sudah memakan korban. Theresa May terpaksa mundur dari posisinya sebagai Perdana Menteri karena menilai sudah berusaha sekuat tenaga tetapi tidak kunjung mendapat hasil yang memuaskan parlemen dan rakyat Negeri John Bull.
Pengganti May adalah eks menteri luar negerinya, Boris Johnson. Sosok ini begitu kontroversial dan sangat euroskeptik.
Johnson berjanji untuk membawa Inggris minggat dari Uni Eropa pada 31 Oktober, apa pun yang terjadi. Termasuk jika Inggris sampai tidak mendapat apa-apa dari percearaian ini alias No Deal Brexit.
Berdasarkan jajak pendapat yang digelar Reuters pada 2-7 Agustus, pelaku pasar memperkirakan kemungkinan terjadinya No Deal Brexit adalah 35%. Naik dibandingkan survei Juli yaitu 30%.
Langkah teranyar Johnson adalah percobaan pembekuan parlemen. Langkah ini membutuhkan restu Ratu Elizabeth.
Namun jika upaya ini gagal, maka Johnson akan menghadapi risiko besar yaitu mosi tidak percaya. Johnson bisa diusir dari Jalan Downing No 10 dan Inggris harus menggelar Pemilu yang dipercepat (semestinya Pemilu baru berlangsung 2022).
Ketiga, hubungan Jepang-Korea Selatan juga memburuk. Seperti AS-China, negara yang bertetangga ini sedang terlibat perang dagang.
Relasi Tokyo-Seoul memburuk sejak akhir tahun lalu setelah Mahkamah Agung Korea Selatan memerintahkan pembayaran kompensasi terhadap warga negara Negeri Ginseng yang dilibatkan dalam kerja paksa saat masa pendudukan Jepang pada 1910-1945. Jepang kemudian menghapus nama Korea Selatan dari daftar negara penerima kemudahan ekspor alias white list. Kemudian Korea Selatan pun membalas dengan perlakuan yang sama.
Kini Jepang dan Korea Selatan mulai merasakan akibatnya. Saling hambat ekspor membuat kinerja perdagangan semakin melemah.
Sejak akhir 2018, saat hubungan dengan Korea Selatan mulai memburuk, ekspor Jepang terus terkontraksi alias turun. Kontraksi ekspor Jepang terjadi selama delapan bulan beruntun.
Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan. Sejak Desember 2018 hingga Juli lalu, ekspor Korea Selatan tidak pernah tumbuh, selalu negatif.
Keempat, situasi di Timur Tengah juga belum bisa dibilang sudah tenang. Bahkan ada tendensi peningkatan eskalasi.
Beberapa waktu lalu, sejumlah kapal berbendera Inggris diserang dan diculik di perairan Selat Hormuz. AS dan sekutunya menuding Iran berada di balik aksi-aksi tersebut.
Sejak Donald Trump menjadi Presiden AS, hubungan Washington-Teheran memang memburuk. AS resmi keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, dan telah menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi. Barang siapa yang berbisnis dengan Iran, niscaya tidak akan diizinkan berbisnis dengan AS.
Iran pun membandel. Behrouz Kamalvandi, Juru Bicara Organisasi Tenaga Atom Iran, menegaskan akan terus mengurangi komitmen mereka terhadap perjanjian nuklir 2015.
“Dengan minimnya komitmen dari Eropa (terhadap keputusan AS), Iran akan mengurangi komitmen dalam waktu sebulan. Ini akan mempercepat aktivitas nulir kami,” katanya, seperti diwartakan Reuters.
Ya, mengurangi komitmen terhadap perjanjian nuklir berarti Iran menambah stok uranium. Kamalvandi mengungkapkan, saat ini posisi uranium Iran sudah di atas 300 kg. Padahal dalam perjanjian 2015, stok uranium Iran dibatasi maksimal 300 kg.
AS tentu tidak senang. Bahkan Trump sempat hampir menerjunkan pasukan militer, tetapi dibatalkan pada menit-menit akhir.
Akan tetapi, risiko konflik di daerah Teluk masih besar. Ancaman konfrontasi bersenjata alias perang belum bisa dikesampingkan di wilayah yang sarat konflik tersebut.
Perang dagang AS-China, Brexit, ketegangan Jepang-Korea Selatan, dan bara Timur Tengah adalah contoh betapa saat ini tingkat kesulitan dalam ‘permainan’ ekonomi global sudah tidak lagi easy. Mungkin sudah hard atau very hard.
Risiko semakin besar, pelaku pasar pun kian terpojok dan terpaksa bermain aman. Kalau ini terus terjadi, maka sulit berharap arus modal akan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi, mungkin ke depan yang namanya fluktuasi nilai tukar rupiah yang mengarah ke depresiasi akan menjadi pemandangan yang biasa.(JIM/BBS)