Kasus Baiq Nuril : MA Maupun Hakim Memutuskan Perkara Berdasarkan Dakwaan Sesuai Perundangan
Jurnal123.com – Mahkamah Agung menjawab pemberitaan yang beredar di berbagai media sosial terkait kasus PK Baiq Nuril yang terkesan menyudutkan lembaga tinggi yudikatif.
Mahkamah Agung (MA) telah menolak upaya Peninjauan Kembali (PK) kasus Baiq Nuril sehingga yang bersangkutan tetap dihukum enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta. MA menyatakan Baiq Nuril bersalah karena melakukan perekaman ilegal.
Juru Bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, mengakui, pihaknya sangat memahami adanya reaksi dari masyarakat pascapenolakan PK tersebut. Namun demikian, yang patut dipahami bersama adalah MA ketika menangani kasasi pada prinsipnya sebagai judex juris, yakni hanya memeriksa penerapan hukum dari suatu perkara, dan tidak memeriksa fakta dari perkaranya.
“Kami bisa memahami pasca-MA menolak PK yang diajukan Baiq Nuril muncul reaksi dari kalangan masyarakat. Kami memahami banyak pihak yang menaruh harapan keadilan di MA. Tapi, MA dalam mengadili perkara pada tingkat kasasi pada prinsipnya sebagai judex juris,” kata Samsan Nganro di Media Centre Mahkamah Agung RI, Jalan Medan Merdeka Utara 9-13 Jakarta Pusat, Senin (8/7/2019).
Pascakeluarnya putusan tersebut MA pun berharap agar masyarakat memahami posisi dan kedudukan MA. Tidak bisa MA memutuskan apa yang di luar kewenangannya dalam memproses sebuah upaya kasasi.
“Harap dipahami posisi dan kedudukan kami. Nuril yang diputus bebas di pengadilan tingkat pertama, kemudian ada pihak yang tidak puas dalam hal ini JPU dan membawa ke MA,” ucapnya.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah, menjelaskan, perkara yang diajukan oleh JPU dalam perkara PK atas nama Terdakwa Baiq Nuril, adalah berupa dakwaan tunggal sebagaimana Pasal 27 ayat l juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 (ayat 1).
Sedangkan terhadap tindak pidana yang lain atau terkait adanya dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak lain terhadap saudara Baiq Nuril adalah perkara tersendiri dan harus diproses tersendiri pula, yang dimulai dari penyidikan oleh kepolisian kemudian penuntutan oleh Kejaksaan dan terakhir dilimpahkan ke pengadilan untuk disidangkan.
“Menurut peraturan Perundang-Undangan, bahwa Kewenangan Mahkamah Agung atau Hakim mengadili perkara berdasarkan pasal dan undang-undang yang didakwakan saja. Sedangkan hal-hal yang tidak didakwakan dalam surat dakwaan tidak boleh diadili oleh hakim,” kata Abdullah.
Sehubungan dengan berita yang viral di media dan menjadi perhatian masyarakat tentang dugaan adanya tindak pidana pelecehan seksual yang dialami Baiq Nuril oleh seseorang, yang bersangkutan sendiri telah melaporkan hal tersebut ke Polda NTB sebagai korban. Selanjutnya perkara tersebut menjadi kewenangan penyidik (kepolisian) apakah perkara tersebut dilanjutkan atau tidak.
Terkait dengan putusan BK Nomor 83 / PK/ Pidsus / 2017 yang menyatakan menolak permohonan PK saudara Baiq Nuril, dengan alasan Permohonan PK yang diajukan tidak termasuk dalam alasan PK yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Kasus itu sendiri bermula pada pertengahan 2012. Saat itu, Baiq yang berstatus guru honorer di SMAN 7 Mataram ditelepon oleh Kepala Sekolahnya yang bernama Muslim.
Dalam percakapan telepon itu, Muslim justru bercerita tentang pengalaman seksualnya bersama wanita lain yang bukan istrinya. Percakapan itu juga mengarah pada pelecehan seksual pada Baiq. Baiq pun merekam percakapan itu dan rekaman itu diserahkan pada rekannya, Imam, hingga kemudian beredar luas. Atas beredarnya rekaman itu, Muslim kemudian melaporkan Baiq ke polisi karena dianggap telah membuat malu keluarganya.
Di Pengadilan Negeri Mataram, Baiq divonis bebas. Namun, jaksa mengajukan banding hingga tingkat kasasi dan Mahkamah Agung memberi vonis hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta karena dianggap melanggar UU ITE.(JIM)