Merek-merek Top Dunia Keok di Indonesia
Jurnal123.com – Wafer merek Superman menang melawan pembuat tokoh Superman, DC Comics. Wafer itu memang sudah melegenda karena dijual di Indonesia sejak puluhan tahun lalu.
“PT Marxing Fam Makmur mendapatkan sertifikat merek dari Kemenkum HAM pertama pada tahun 1993 untuk kelas 30 dan 34 dan diperbaharui tiap 10 tahun,” kata kuasa hukum PT Marxing Fam Makmur, Sururi Elhaque, saat berbincang dengan detikcom, Selasa (28/5/2019).
Baca juga: Menang Lawan DC Comics, Ini Argumen Wafer Superman Indonesia
Kelas 30 dan 34 adalah kategori wafer, biskuit, beras, sagu, dan sejenisnya. PT Marxing kemudian bekerja sama dengan Siantar Top untuk memproduksi wafer cokelat. Wafer tersebut kemudian membanjiri setiap sudut warung di seluruh Indonesia dan dikenal secara luas.
Pada 2017, DC Comics baru berinisiatif mendaftarkan merek Superman ke Kemenkum HAM. Sengketa muncul karena nama merek dagang itu sudah dipegang oleh PT Marxing Fam Makmur. Kasus bergulir ke pengadilan dan PT Marxing Fam Makmur menang atas sengketa tersebut.
“Di Indonesia, Superman dikenal sebagai tokoh kartun, bukan produk makanan. Jadi klien kami tidak mendompleng keterkenalan DC Comics,” ujar Sururi membeberkan alasan kemenangan tersebut.
Namun, perlu diketahui bahwa Wafer Superman bukan satu-satunya merek dagang asal Indonesia yang menang sengketa. Lantas, apa saja merek itu?
Sepatu Onitsuka
Sepatu Onitsuka Tiger, yang diproduksi ASICS TIGER dan berpusat di Jepang, pernah bersengketa. Pasalnya, di Indonesia sendiri, merek itu dikuasai oleh orang Jakarta, yaitu Theng Tjhing Djie dan Liog Hian Fa.
Berdasarkan dokumen putusan kasasi yang dikutip dari website MA, Selasa (6/6/2017), Djie dan Fa mendapatkan hak merek itu dari Yap Mun Yong. Yong sendiri mendapatkan hak merek itu dari Hendri Handoyo Yahya.
Hak merek yang kini dikantongi Djie dan Fa itu sudah didaftarkan di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) sejak 1980 untuk merek ASICS TIGER dan turunannya. Merek sepatu itu mengantongi sertifikat per 31 Agustus 1984, sedangkan logo terdaftar di Kemenkum HAM sejak 9 Agustus 1994.
Djie dan Fa mengaku telah memproduksi 80 ribu pasang sepatu sejak Maret 2009 hingga September 2012, dengan keuntungan Rp 60 ribu per pasang. Jadi, dalam kurun tersebut, Djie dan Fa mengantongi keuntungan Rp 4,8 miliar. Oleh sebab itu, Djie dan Fa kaget bila digugat oleh ASICS TIGER sehingga mengajukan gugatan balik imateriil dengan total Rp 6 miliar.
Atas argumen itu, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tidak menerima gugatan ASICS TIGER. Gugatan balik Djie dan FA pun tak diterima. Putusan itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA).
IKEA
IKEA termasuk mereka yang pernah jadi sengketa di Indonesia. Pasalnya, merek dagang asal Swedia itu ternyata punya pesaing dari IKEA asal Surabaya. Namun Mahkamah Agung (MA) telah mengetuk palu dan menyatakan merek IKEA dari Surabayalah pemilik merek IKEA.
Berdasarkan salinan putusan kasasi yang dikutip dari website MA, Rabu (3/2/2016), IKEA ala Surabaya menggunakan dalih Pasal 61 ayat 1 huruf a UU Merek yang berbunyi:
Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal.
Pasal di atas dikenal dengan ‘merek tidur’. Dari pasal di atas, IKEA Surabaya lalu melakukan survei untuk membuktikan bahwa IKEA asal Swedia tidak memakai merek itu selama tiga tahun berturut-turut. IKEA dari Surabaya yang dimiliki PT Ratania Khatulistiwa lalu melakukan survei pasar pada November-Desember 2013.
Melihat adanya ‘merek tidur’ ini, maka PT Ratania mendaftarkan merek IKEA miliknya pada 20 Desember 2013. IKEA miliknya merupakan akronim dari Intan Khatulistiwa Esa Abadi atau disingkat IKEA. Intan sendiri akronim dari ‘Industri Rotan. IKEA dari Swedia yang mengantongi sertifikat merek tertanggal 9 Oktober 2006 dan 27 Oktober 2010 dinilai ‘menidurkan’ mereknya selama tiga tahun berturut-turut.
Tak disangka, argumen ini dikabulkan. Pada 17 September 2014, PN Jakpus menyatakan IKEA dimiliki oleh PT Ratania dan memerintahkan merek IKEA dari Swedia yang berdiri sejak 1943 harus dicabut. Atas vonis ini, IKEA dari Swedia mengajukan kasasi, tetapi putusan tidak berubah sama sekali.
Monster Minuman Energi
Perusahaan minuman suplemen asal California, Amerika Serikat (AS), MONSTER, juga pernah bersengketa dengan merek suplemen lokal. MONSTER akhirnya kalah setelah melawan pengusaha Surabaya, Andria Thamrun. MONSTER sendiri merupakan minuman berenergi dan sponsor utama MotoGP serta berbagai laga olahraga internasional lain.
Kantor pusat MONSTER ENERGY COMPANY bermarkas di 550 Monica Cirle, Suite, 201, Corona, California, 92880. Untuk mendukung produknya, MONSTER mensponsori berbagai olahraga, seperti motocross, sepeda ekstrem, sepeda gunung, surfing, dan olahraga lainnya. MONSTER juga menjadi sponsor tunggal MotoGP, sebuah balap sepeda motor paling bergengsi di dunia. Pembalap MotoGP Valentino Rossi juga disponsori oleh MONSTER.
Hasil penjualan MONSTER di berbagai dunia membuahkan keuntungan sangat besar. Sejak 2002 hingga 2012, perusahaan itu meraup untung US$ 20 miliar. Keuntungan ini selalu tumbuh tiap tahunnya.
Di Indonesia, MONSTER mengantongi sertifikat merek dari Dirjen HAKI sejak 2009 dan terus memperbarui untuk berbagai jenis produk MONSTER.
Pihak MONSTER kaget saat mendapati merek MONSTER serupa di Indonesia. Atas dasar itu, MONSTER keberatan jika mereknya digunakan oleh Andria. Untuk membuktikan keyakinannya, MONSTER melakukan survei di berbagai kota di Indonesia dan terbukti MONSTER asal Surabaya telah tersebar di berbagai daerah. Tidak terima, MONSTER asal California lalu menggugat MONSTER asal Surabaya ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Namun pada akhirnya gugatan sang MONSTER asal luar negeri itu justru ditolak.
Pierre Cardin
Sengketa juga pernah melanda merek fashion dan parfum asal Prancis, Pierre Cardin. Pada 4 Maret 2015, Pierre Cardin, yang bermarkas di 59 Rue du Faubourg Saint-Honore, Paris, Prancis, menggugat Alex pemilik Pierre Cardin asal Jakarta. Dalam bantahannya, Alex mendalilkan bahwa gugatan Pierre Cardin sudah kedaluwarsa.
Namun, pada 9 Juni 2015, Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan Pierre Cardin Prancis. Permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pierre Cardin pun ditolak Mahkamah Agung. Alhasil, merek legendaris asal Prancis itu menjadi milik pengusaha Jakarta, Alexander Satryo Wibowo.(DEN)