Politik

MK Tolak Gugatan Rocky Gerung Dkk Terkait PT

Jurnal123.com – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan tokoh masyarakat serta eks pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqqodas dan Bambang Widjojanto, Effendy Ghazali, Rocky Gerung dkk tentang presidential threshold (PT) atau ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Putusan itu disampaikan dalam sidang yang digelar pada Kamis, 25 Oktober 2018.

“Terhadap pertanyaan tersebut, Mahkamah berpendapat tidak terdapat
alasan mendasar yang menyebabkan Mahkamah harus mengubah pendiriannya,” kata hakim dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis siang.

Hakim Konstitusi dalam sidang itu ialah Aswanto selaku ketua merangkap anggota. Selanjutnya, I Dewa Gede Palguna, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, dan Manahan M.P. Sitompul, masing-masing juga sebagai anggota.

Menurut hakim, alasan yang diajukan para pemohon tidak sesuai dengan dasar hukum. Musababnya, putusan Mahkamah sebelumnya disebut telah sesuai dengan konstitusional.

Pasal yang dimohonkan pengujian materi adalah Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal itu mengatur, dalam upaya mengusung capres dan cawapres, gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional saat pemilihan umum 2014.

Pemohon menyatakan keberatan terhadap pasal itu karena dianggap berpotensi membatasi hadirnya pasangan capres dan cawapres yang lebih variatif. Para pemohon itu di antaranya Muhammad Busyro Muqoddas, Muhammad Chatib Basri, Faisal Batubara, Hadar Nafis Gumay, Bambang Wodjojanto, Rocky Gerung, Robertus Robet, Angga Dwimas, Feri Amsari, Hasan, Dahnil Anzar Simanjuntak, dan Titi Anggraini.

Perludem Mempertanyakan

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan terhadap Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, masih belum menjawab persoalan mendasar. “Apakah pengaturan ambang batas itu berkesesuaian dengan syarat pencalonan di dalam konstitusi. Itu tak dijawab MK,” kata peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, seperti dilansir Tempo, Jumat, (26/10/2018).

Fadli mengatakan jawaban MK tidak nyambung saat memberikan penjelasan bahwa ambang batas akan memperkuat sistem presidensil dan penyederhanaan partai politik. Misalnya, dia menyebutkan, soal ambang batas akan menjauhkan Indonesia dari sistem presidensil menjadi rasa parlementer. Menurut Fadli, pertimbangan hakim MK kontradiktif dan lemah secara teoritik.

“Yang terjadi justru sebaliknya. Ambang batas justru membuat presiden dalam posisi lemah sedari pencalonan, karena dipaksa bertransaksional jangka pendek dengan partai untuk memenuhi syarat suara atau kursi,” katanya.

Menurut Fadli, dengan adanya presidential threshold, calon presiden akan terbelenggu kepentingan partai. Sehingga, mereka tidak melakukan transaksi programatik. Tetapi, kata Fadli, bertransaksi hanya untuk memenuhi syarat pencalonan saja.

Selain itu, Fadli mengatakan ambang batas pencalonan presiden juga membatasi arena kontestasi dan calon. Hal itu membuat demokrasi menjadi tidak fair. “Tapi yang paling mendasar adalah ambang batas itu tak sesuai dengan syarat pencalonan presiden di dalam konstitusi,” ujarnya.

MK menolak semua gugatan 12 tokoh masyarakat terhadap Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Kamis, 25 Oktober 2018. Hakim menimbang, keberatan pemohon tidak memiliki dasar.

Pasal yang dimohonkan pengujian materi itu salah satunya mengatur upaya pengusungan capres dan cawapres. Dalam pasal tertuang, gabungan partai politik harus memiliki 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional saat pemilihan umum 2014.(TEM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *