34 Kepala Daerah Ditangkap KPK Akibat Korupsi
Jurnal123.com – Pemberantasan korupsi di negeri ini seakan tidak pernah berhenti. Ironisnya hal tersebut dialami puluhan kepala daerah yang dipilih rakyat.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menangkap 34 kepala daerah dengan cara operasi tangkap tangan, sejak 2012 hingga Oktober 2018. Teranyar, penangkapan Wali Kota Pasuruan Setiyono, Kamis, 4 Oktober 2018 lalu.
Para kepala daerah itu ditangkap terkait beberapa kasus suap dengan beragam modus. KPK meyakini, benang merah persoalan korupsi di daerah sulit dibenahi apabila persoalan pengawasan dan biaya politik tinggi tak segera diselesaikan.
“KPK telah melakukan OTT terhadap 34 kepala daerah dengan beragam modus. Tapi semua kepala daerah ini ditangkap dalam kasus suap,” kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah kepada wartawan, Senin, 8 Oktober 2018.
Febri menjelaskan, sebagian besar kepala daerah tersebut menerima suap terkait fee proyek. Namun terdapat kepala daerah yang menerima uang suap terkait perizinan, pengisian jabatan di daerah dan pengurusan anggaran.
“Praktik buruk korupsi dalam bentuk suap ini merusak tujuan proses demokrasi lokal, termasuk Pilkada serentak yang diharapkan bisa menghasilkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kepentingan rakyat, bukan hanya mengumpulkan kekayaan pribadi dan pembiayaan politik,” kata Febri.
Febri menegaskan, negara telah dirugikan berulang kali atas praktik rasuah yang terus terjadi di daerah. Proses kontestasi politik, dengan biaya penyelenggaraan mahal menghasilkan kepala daerah yang korupsi.
Praktik suap memicu persaingan tak sehat antarpelaku usaha di daerah. Sebuah perusahaan mendapatkan proyek lebih karena kemampuan menyuap pejabat dibanding kompetensi mengerjakan proyek tersebut.
“Akibat lain, suap akan dihitung sebagai ‘biaya’ sehingga berisiko mengurangi kualitas bangunan, jembatan, sekolah, peralatan kantor, rumah sakit dan lain-lain yang dibeli. Pada akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat,” kata Febri.
Biaya Politik
Febri menambahkan, maraknya praktik korupsi di daerah disebabkan lemahnya pengawasan. Untuk itu, penguatan Aparatur Pengawas Internal Pemerintahan (APIP) secara struktural dinilai semakin mendesak. Penguatan ini agar aparatur pengawas paham celah, serta bentuk-bentuk penyimpangan yang terjadi.
Penguatan ini harus dilakukan dengan revitalisasi posisi APIP yang selama ini nyaris tersandera dan tidak independen. Sebab, kedudukannya berada di bawah kepala daerah.
“Sulit membayangkan inspektorat yang diangkat dan diberhentikan kepala daerah kemudian bisa melakukan pengawasan terhadap atasannya itu hingga penjatuhan sanksi,” ujarnya.
Lantaran ini, menurut Febri, perbaikan regulasi seperti RUU Sistem Pengawasan Intern Pemerintah menjadi kebutuhan untuk mencegah korupsi kepala daerah yang terus terjadi.
Febri berpendapat, APIP yang lebih independen dapat memetakan pihak-pihak pemegang proyek yang berulang kali menjadi pemenang tender di daerah. APIP juga dapat memeriksa sejak awal proses penganggaran, pengadaan hingga memfasilitasi keluhan dari masyarakat tentang adanya penyimpangan di sektor tertentu. “Untuk itu butuh perhatian lebih dari Presiden dan DPR untuk menyusun aturan setingkat UU ini,” ujarnya.
Selain lemahnya pengawasan, menurut Febri, maraknya praktik korupsi terjadi karena besarnya biaya politik. Dari 34 kepala daerah yang ditangkap oleh tim KPK, sebagian pelaku menerima atau mengumpulkan uang untuk tujuan pencalonan kembali, serta pengumpulan bekas tim sukses untuk mengelola proyek di daerah tersebut.
Untuk itu, Febri menyatakan, akuntabilitas sumbangan dana kampanye menjadi salah satu faktor krusial yang perlu diperhatikan seluruh pihak terkait.
“Karena hubungan pelaku ekonomi dan politik yang tertutup rentan picu persekongkolan dan penyalahgunaan wewenang saat kepala daerah menjabat. Utang dana kampanye tersebut berisiko dibayar melalui alokasi proyek-proyek di daerah,” ujarnya.(VIN)