Kamis, April 18, 2024
spot_img
BerandaOpiniMungkinkah Komunisme Bisa Memecah NKRI?

Mungkinkah Komunisme Bisa Memecah NKRI?

Derek Manangka
Derek Manangka

CATATAN TENGAH

Oleh Derek Manangka

Pro-kontra tentang pemutaran film “G 30 S/PKI” tiba-tiba saja merebak sebagai sebuah isu politik yang garing. Seperti penganan yang enak, renyah dan mudah dikunya.

Sejak kemarin, saya dibanjiri oleh kiriman berbagai sahabat di WA, tentang “Surat Terbuka Untuk Panglima TNI …”

Terakhir “meme” yang mencerminkan adanya perbedaan sikap antara Panglima TNI yang sekarang dengan yang digantikannya.

Kepentingan saya menulis “Surat Terbuka” kali ini, karena prihatin.

Bangsa kita saat ini sudah terjebak dalam perdebatan politik yang makin meruncing dan bakal tanpa ujung. Dan kalau betul ada perbedaan mendasar di antara para jenderal, militer, jelas ini sebuah kemunduran.

Prihatin sekaligus khawatir, jika tak ada yang menghentikan perbedaan ini, bukan mustahil perdebatan soal film “G 30 S/PKI” akan menjadi pemicu dari terjadinya kekacauan di Indonesia. Kekacauan bisa berujung dalam bentuk “Perang Saudara”.

Dan sekalipun saya orang sipil, sangat meyakini, jika “Perang Saudara” meletus di Indonesia, tak satupun di antara kekuatan militer yang diuntungkan.

Menang menjadi abu, kalah menjadi debu. Begitulah definisi sarkastik, tentang sebuah perang atau peperangan.

Sebagai warga bangsa yang cinta NKRI, tentu saja keprihartinan dan kekhawatiran saya, cukup beralasan, apabila “Perang Saudara” harus meletus di Indonesia.

Sebab kemungkinan terburuk yang terjadi, itulah yang saya perhitungkan.

Kehancuran Indonesia akan mengikuti jejak negara-negara gagal seperti Afghanistan, Syria, Libanon serta negara miskin lainnya di benua hitam, Afrika.

Prihatin, karena, jika yang menjadi pemicu dari pecahnya “Perang Saudara” ini, bukanlah oleh persoalan membagi kekayaan. Tetapi karena membagi “penderitaan”.

Dan perang itu dipicu oleh sikap terhadap sebuah film.

Prihatin, sebab jika ini terjadi maka sejarawan dunia bakal menulis – ada negara besar yang zone waktunya terdiri atas tiga bagian dengan penduduknya terbesar ke-empat di dunia, akhirnya hancur, terlibat “Perang Saudara” hanya karena soal film.

Masalah film bisa menjadi taruhan untuk segala-galanya.

Prihatin, karena film “G 30 S/PKI” yang diperdebatkan itu, bukanlah sebuah maha karya.

Namun dengan perdebatan yang semakin memanas seperti sekarang, kita seperti sedang “memperebutkan” sebuah maha karya yang hak ciptanya, sangat mahal.

Hak cipta, hak intelektual yang tidak mungkin dibuat dan ditemukan oleh orang lain.

Saya berani berspekulasi, film “G 30 S/PKI” itu sekalipun diputar di seluruh Indonesia, mau dijadikan sebagai materi pembelajaran (sejarah), dampaknya tidak akan signifikan.

Dalam arti, tidak semua yang menontonnya akan bersetuju dan serta merta mengambil sikap. Misalnya sikap memusuhi komunisme.

Mengapa, karena cerita film itu – kalau tidak lupa, tidak berbicara tentang ideologi komunis yang berbahaya.

Film itu mengisahkan prilaku biadab dari orang-orang yang dituduh PKI. Mereka yang menembak para jenderal, dan mengubur mereka di lobang bertindih-tindih, disebut sebagai PKI walaupun mereka juga disebut-sebut militer bersenjata.

Jadi semestinya yang harus dipersoalkan bukan hanya kader PKI tetapi prajurit militer.

Apakah di kalangan yang bersenjata, sudah bersih dari tindakan dan prilaku biadab ?

Komunisme, sudah dilarang melalui Ketetapan MPRS, yang saat itu merupakan Lembaga Tertinggi Negara. Larangan ini masih berlaku.

Namun saya curiga, tidak semua warga bangsa paham secara jernih apa yang menjadi elemen paling berbahaya dari komunisme itu sendiri.

Karena kenyataannya, semua negara komunis yang eksis ketika peristiwa G-30 S/PKI itu terjadi, praktis kini sudah ‘menanggalkan’ baju komunismenya.

Artinya komunisme sudah tidak laku, tidak diterima di berbagai belahan dunia.

RRT, Vietnam untuk kawasan Asia, tidak bisa lagi disebut sebagai negara yang memprkatekkan ideologi komunis. Pesawat komersil Vietnam, VietJet sudah menggunakan wanita berbikini sebagai pramugari. Sesuatu yang tidak lazim di negara komunis.

Sejumlah negara Eropa Timur, sudah menjadi negara anti-komunis.

Uni Sovyet yang merupakan salah satu kiblat komunis terkuat di dunia, justru hancur di tahun 1989.

Sejumlah provinsinya berdiri sebagai negara merdeka. Presiden pertama Kazakhtan atau negara lainnya yang mayoritasnya berpenduduk Islam di bekas negara Uni Sovyet itu, seorang yang tadinya anggota Partai Komunis Uni Sovyet.

Tapi setelah Uni Sovyet bubar di tahun 1989, dengan penuh kesadaran dia lepas baju komunisme.

Artinya komunisme di negara tempat asalnya, sudah tidak laku. Sementara kita mengkhawatirkan kejadian tahun 1965, terus dibayangi trauma.

Hanya orang picik yang masih tertarik menjadi pengikut komunis.

Kebiadaban PKI melalui film – yang mau diingatkan kembali kepada masyarakat, generasi muda atau generasi milenia, sah-sah saja. Tapi yakinkah kita kalau respons generasi milenea tersebut setinggi yang diharapkan ?.

Mengapa tidak dilakukan survei oleh lembaga independen – bagaimana sebetulnya sukap generasi sekarang terhadap komunisme ? Agar kita tahu persepsi masyarakat tentang komunisme.

Dari sana baru kita buat analisa dan solusi.

Generasi sekarang, masuk ketegori generasi milenia.
Cara dan pola pikir generasi milenia, sangat berbeda dengan generasi yang lebih tua.

Jangankan generasi milinea, generasi yang agak dekat kelahiran generasi milenia, tidak sama cara pandang mereka tentang situasi yang terjadi di tahun 1987.

Tiga puluh tahun lalu !.

Contoh pengalaman pribadi. Demikian panjang lebar saya jelaskan tentang keburukan Harmoko, sebagai Menteri Penerangan yang suka membredel, menutup suratkabar.

Dampak negatif atas penutupan harian “Prioritas”, tempat saya mencari makan, saya jelaskan kepada anak-anak saya.

Saya bilang, kalian pernah gak bisa makan dan sekolah karena saya sebagai ayah kalian kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Keluarga kita seperti mau dibunuh secara pelan-pelan oleh Menteri Penerangan yang mantan wartawan.

Mungkin cara saya mendramatisir kesulitan hidup yang dipicu oleh pembredelan tersebut, kurang canggih. Sehingga respon anak-anak saya tidak seperti yang saya harapkan.

Sikap mereka, dingin dan tanpa ekspresi. Hal mana menunjukkan ada jurang yang menganga lebar dengan saya sebagai orang tua dan anak-anak.

Pada satu kesempatan di tahun 2015, anak saya berwisata ke Kamboja. Saya sarankan supaya dia pergi ke meseum yang memamerkan kebrutalan rezim Pol Pot. Rezim yang disebut-sebut membantai tiga juta warga sipil Kamboja.

Sekalipun dia pergi dan membuat sejumlah foto yang memperlihatkan tengkorak-tengkorak manusia, hasil kekejaman sebuah rezim komunis, reaksinya datar saja. Artinya, pemandangan itu sekalipun sebuah fakta sejarah tetapi tidak membuat dia terpengaruh seperti sedih dan ketakutan.

Kontras dengan situasi kebatinan yang melingkup kehidupan saya yang mengunjungi meseum itu di tahun 1984.

Beda tahun, beda generasi, beda cara pandang.

Lagi-lagi saya melihat ada “gap” generasi dan “gap” perspeketif.

Sekalipun hal ini merupakan cerita pengalaman pribadi, tetapi tidak terlalu berlebihan untuk dijadikan semacam rujukan.

Dalam soal peristiwa “G 30 S/PKI”, saya sendiri memiliki sikap yang mungkin berbeda dengan kebanyakan warga bangsa.

Saya coba melihatnya dari kaca mata wartawan, yang harus melihat persoalan dari dua sisi yang berbeda.

Perjalanan karir kewartawanan lebih dari 40 tahun, memberi saya kesempatan membaca, melihat dengan mata kepala sendiri berbagai hal yang berkaitan dengan komunisme termasuk penyebab terjadinya peristiwa “G 30 S/PKI.

Saya tetap waspada terhadap komunisme. Karena ideologi ini bertentangan dengan agama keyakinanku,

Dari perjalanan itu, saya coba buat berbagai perbandingan.

Kesimpulan sementara tentang meletusnya “G 30 S/PKI”, adalah – antara sejarah yang ditulis oleh kacamata Indonesia dan versi orang asing, berbeda jauh.

Ceritanya begini : Pada tahun 1978, saya disarankan oleh seorang diplomat Indonesia, agar membaca buku “The Indonesian Tragedy”.

Buku karya Brian May, wartawan Amerika yang pernah bertugas di Jakarta sebagai koresponden “AFP”, kantor berita Prancis, saat itu dilarang beredar di Indonesia.

Karena larangan itu, buku tersebut justru banyak dicari dan dibeli oleh orang Indonesia manakala ke Singapura atau negara lain, yang toko bukunya menjual buku tersebut.

Akhirnya saya paham, mengapa buku tersebut dilarang oleh rezim Orde Baru.

Tak lain karena versinya tentang Pemberontakan G 30 S/PKI di tahun 1965, sangat berbeda dengan kisah yang dibuku sejarahkan oleh Kepala Pusat Sejarah ABRI Brigjen Nugroho Notosusanto.

Nugroho (almarhum) kelak menjadi anggota Kabinet di zaman Pak Harto.

Terlalu panjang jika perbedaan itu ditulis disini. Yang pasti sejumlah kejadian bertolak belakang dengan materi sejarah yang saya pelajari pada waktu di SMA Negeri I, Manado, di akhir tahunn 1960-an.

Salah satu perbedaannya, penegasan dan sikap Brian May yang menilai, tudingan terhadap Soekarno sebagai pihak yang ikut terlibat dalam “G 30 S/PKI”, tidak masuk akal.

Karena situasinya tidak kondusif, sekalipun materi buku itu sudah saya pahami, tapi sepanjang rezim Orde Baru masih berkuasa, saya tidak berani membicarakannya dengan teman sekalipun.

Artinya, saya pun ikut tidak jujur kepada generasi, minimal yang satu generasi dengan saya.

Ketika PKI melakukan kudeta, demikian salah satu petikan di buku tersebut, Soekarno sudah berstatus “Presiden Seumur Hidup”.

Lalu dimana logiknya, kalau menyebut, bahwa Soekarno mendukung kegiatan PKI yang mau menumbangkan atau merebut kekuasaan ?

Kekuasaan siapa yang mau Soekarno ikut tumbangkan ? Kekuasaan dia sendiri ?

Kendati logikanya masuk akal, tetapi akal sehat saya mengatakan, lebih baik saya diam.

Pada tahun 1983, ketika mengikuti program beasiswa dari pemerintah Prancis, oleh Lilahi Sidharta, seorang diplomat karir di KBRI, Paris, saya difasilitasi untuk bertemu dengan Hanafi, mantan Dubes RI di Kuba. Hanafi Yang saat itu tinggal di Prancis, sebagai penerima suaka politik.

Hanafi mengaku sebagai seorang Soekarnois yang kemudian dituduh sebagai komunis.

Oleh rezim Orde Baru, statusnya sebagai Dubes RI di Kuba, negara komunis, lalu dicabut. Sehingga satu-satunya solusi dia mencari hidup, adalah meminta suaka politik. Prancis memberinya kehidupan.

Dari cerita Hanafi saya punya kesan, isu komunis atau PKI, pada saat itu sudah digunakan demikian melebar dan tanpa kendali. Orang tidak bersalah, bisa menjadi orang yang sangat bersalah atau penghianat.

Lilahi Sidharta diplomat Inndonesia yang memfasilitasi saya, yang di tahun itu – 34 tahun lalu, sudah berpandangan berbeda dengan para penguasa Orde Baru di Jakarta tentang komunisme.

Namun apakah saya harus menuduhnya seorang komunis ?!

Ironi dari film “G 30 S/PKI” yang disebutkan sekarang, sebetulnya film itu tidak atau belum mampu menceritakan sisi lain dari bahaya komunisme. Kecuali soal kebiadaban.

Tahun 1994, Afrika Selatan merdeka. Saya sempat mewawancarai Duta Besar pertama Afrika Selatan yang bertugas di Indonesia.

Ucapan dia yang tak bisa saya lupakan, bukan soal komunisme. Melainkan soal kebiadaban rezim kulit putih (minoritas). Rezim minoritas ini mempersekusi dan mengeksekusi warga kulit hitam (mayoritas).

“Banyak keluarga kami, warga kulit hitam yang dibunuh oleh bangsa kulit putih. Caranya dengan membuang orang yang masih hidup ke kolam yang penuh buaya. Anda bisa bayangkan bagaimana biadabnya bangsa kulit putih membunuh warga kulit hitam”

“Tapi kami tidak mau mengungkit itu lagi. Karena tokh nyawa saudara kami tetap tidak akan hidup kembali. Kami balas dendam pun, hasilnya sama. Yang sudah mati, tidak mungkin hidup lagi.”, kata sang Dubes.

Afsel melakukan rekonsiliasi secara totalitas.

De Klerk, Presiden terakhir dari rezim apartheid, antara lain dipercaya oleh Nelson Mandela, sebagai Wakil Presiden-nya.

Hasilnya dalam waktu kurang dari 20 tahun, rekonsiliasi Afrika Selatan, membuat kekuatan negara itu sejajar dengan negara industri lainnya.

Afrika Selatan saat ini menjadi anggota BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa).

Tahun 2005, sebuah dokumen CIA dibukukan, diterjemahkan oleh Gramedia. Dan salah satu isinya menyebut bahwa peristiwa G 30 S/PKI, adalah bagian dari operasi CIA di Asia Tenggara.

Pembongkaran itu kemudian diikuti oleh berbagai berita di media internet yang isinya cukup mengejutkan.

Misalnya agen CIA di Jakarta memberikan daftar nama kepada otoritas di Indonesia – yang dianggap berpihak kepada Amerika. Perintahnya, supaya nama-nama di dalam datar itu ditangkap dan dipenjarakan.

Tentu saja pemberian daftar nama itu ada imbalannya.

Tapi yang terjadi mereka yang ditangkap langsung dieksekusi. Sebab kalau dimasukan ke penjara, akan timbul problem memberi makan kepada mereka sebagai tahanan.

Cerita ini, kalau benar, semakin menguatkan dugaan bahwa peristiwa G 30 S S/PKI tidak terjadi secara alamiah. Melainkan karena campur tangan asing.

Pihak asing berhasil menciptakan suasana permusuhan di antara kita sesama bangsa.

Permusuhan itu telah menelan korban begitu banyak dan di saat generasi baru sudah muncul, ada pihak yang mau membuka kembali peristiwa itu dengan muatan bisa menimbulkan konflik baru kembali.

Saat pro kontra tentang pemutaran kembai film “G 30 S/PKI” semakin ramai, “Tempo” dikutip sebagai mengatakan ada tiga orang yang melarang pemutaran film tersebut di TVRI – tak lama setelah Presiden Soeharto, lengser atau dilengserkan di tahun 1998.

Ketiga tokoh itu adalah Marsekal Saleh Basarah, mantan KSAU dan Dubes RI untuk Inggeris, Juwono Sudarsono, Menteri Pendidikan di era Kabinet BJ Habibie, dan Letjen Junus Yosfiah, Menteri Penerangan, juga di kabinet Habibie.

Silahkan tafsirkan sendiri. Mengapa dua jenderal senior, Saleh Basarah dan Yunus Yosfiah mengambil tindakan melarang pemutaran film tersebut ? . *****

RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments