Nusantara

Meski Gratis, 46 Juta Penduduk Belum Miliki Akta Kelahiran

1025x656_11b5c727dc00ef9d898f1fc3fd0e76213f671ab2
JURNAL123, JAKARTA.
Meski berbagai kemudahan telah dibuat pemerintah dalam membuat akta kelahiran hingga mengratiskan biaya pembuatannya. Namun masih ada saja sejumlah warga belum membuat surat penting data kependudukan tersebut.

Selain itu, setidaknya lima Undang-Undang yang menjamin hak anak untuk mendapat akta kelahiran sesaat setelah lahir ke bumi. Namun kewajiban paling dasar dari negara untuk memenuhi hak tersebut tak kunjung tuntas.

Konstitusi kita, UUD 1945 Pasal 28 D ayat (1) menyatakan bahwa, “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Selain itu Pasal 28 D ayat (4) menyatakan, “setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.

Sementara hak identitas bagi anak dinyatakan tegas dalam pasal 5 UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal tersebut menyebutkan, “Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan”.

Hasil ekstraksi data mikro Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas, BPS 2016), Lokadata Beritagar.id menemukan 18 persen atau sekitar 46 juta dari 261 juta jiwa penduduk Indonesia pada 2016 belum memiliki akta kelahiran. Angka itu hampir seperlima dari populasi penduduk Indonesia.

Dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Dalam Negeri 2008, masalah ini menjadi prioritas utama yang akan diselesaikan pada 2011. Namun pada 2012, hanya bisa menjangkau 73 persen dari seluruh penduduk. Hingga 2016, berarti baru 82 persen populasi yang telah memiliki akta kelahiran.

Sebanyak 99,7 persen penduduk di Mamberamo Tengah belum memiliki akta kelahiran dari 46.602 jiwa populasi pada 2016. Ini berarti hanya 139 orang yang memiliki akta kelahiran di wilayah itu. Satu dari 333 penduduk saja yang memiliki akta kelahiran.

Di Kabupaten Donggala, 60 persen tanpa akta kelahiran; Sumba Barat Daya sebanyak 78,4 persen; Kabupaten Murung Raya sebanyak 40,9 persen. Di Pulau Jawa, warga Kabupaten Lebak lebih dari setengah populasinya tidak memiliki akta kelahiran. Hal serupa berlaku di Mandailing Natal, Sumatra Utara, sebanyak 59,4 persen.

Ihwal pembuatan akta kelahiran, diatur dalam UU No. 24/2013 tentang perubahan UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk). Pasal 27 UU tersebut menegaskan setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling lambat 60 hari sejak kelahiran.

UU perubahan tersebut mengadopsi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir aturan wajib mendapatkan penetapan pengadilan untuk membuat akta kelahiran bagi mereka yang terlambat melapor lebih dari satu tahun.

MK pada 2013 telah membatalkan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No. 23/2006 tentang penetapan pengadilan. Warga cukup meminta keputusan tertulis kepada dinas kependudukan dan catatan sipil setempat.

MK menegaskan, akta kelahiran adalah hal yang sangat penting bagi warga negara. Dengan akta kelahiran, seseorang mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum karena dirinya telah tercatat oleh negara. Akta itu pula yang mengikat hak dan kewajiban hukum, status pribadi, dan status kewarganegaraan.

“Proses untuk memperoleh akta kelahiran yang membutuhkan prosedur administrasi dan waktu yang panjang serta biaya yang lebih banyak dapat merugikan penduduk. Padahal, akta kelahiran merupakan dokumen penting yang diperlukan dalam berbagai keperluan,” demikian penggalan pertimbangan MK dalam putusan No. 18/PUU-XI/2013.

Data warga yang belum memiliki akta kelahiran, pada masa sebelum dan sesudah UU diubah, memang menunjukkan penurunan. Secara nasional, pada 2012 warga tanpa akta kelahiran mencapai 27,4 persen. Angka ini membaik pada 2016, menjadi 18 persen.

Wilayah perdesaan menjadi wilayah dengan penduduk paling banyak tak memiliki akta kelahiran, sebanyak 23,76 persen. Sedangkan penduduk di wilayah perkotaan yang belum tercatat dan punya akta kelahiran, mencapai 12,31 persen.

Sedangkan provinsi dengan penduduk berusia 0-17 tahun tanpa kepemilikan akta kelahiran pada 2016, tertinggi di Provinsi Papua, sebesar 57,8 persen, atau lebih dari setengah populasi. Upaya menekan jumlah warga tanpa akta kelahiran di Papua terbilang stagnan sejak 2012 yang saat itu mencapai 59,8 persen populasi.

Provinsi Sumatra Utara terhitung sukses mengurangi warga yang tak berakta kelahiran, dari 49,5 persen pada 2012, turun menjadi 29,6 persen empat tahun kemudian. Berikutnya adalah Sulawesi Tengah; dari 44,9 persen menjadi 32,5 persen.

Terdapat enam alasan utama penduduk tidak memiliki akta kelahiran, yaitu 1) Tidak tahu kelahiran harus dicatat dan tidak tahu cara mengurusnya; 2) Tidak merasa perlu, malas/tidak mau repot; 3) Tidak memiliki biaya untuk mengurus; 4) Tempat pengurusan akta jauh; 5) Akta belum terbit; dan 6) Sejumlah alasan lainnya.

Dari enam alasan dari itu, keluhan tentang biaya untuk mengurus akta menjadi penyebab utama tidak memiliki akta kelahiran, sebanyak 33,87 persen. Keluhan tidak memiliki biaya, terbanyak muncul di Provinsi Jawa Barat, mencapai 51,67 persen. Nyaris semua responden di 34 provinsi, melihat biaya sebagai masalah dalam pembuatan akta kelahiran.

Hal ini kontradiktif dengan sejumlah aturan yang menjamin pencatatan kelahiran anak dan pembuatan akta kelahiran tanpa dipungut biaya. Pasal 79A UU No. 24/2013 menegaskan, pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan–termasuk akta kelahiran–tidak boleh dipungut biaya.

Pelanggaran terhadap pasal ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp75 juta. Ancaman ini berlaku untuk aparat mulai dari tingkat desa/kelurahan, hingga UPT instansi pelaksana dan instansi pelaksana.

Biaya yang mungkin muncul adalah denda administratif, dikenakan bila terjadi keterlambatan pelaporan selama 60 hari setelah kelahiran, sesuai aturan Pasal 27 UU No. 24/2013. Namun besarnya denda administratif dimaksud, berdasarkan Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 23/2006, paling banyak sebesar Rp1 juta.

Dalam penerbitan akta kelahiran, Menteri Dalam Negeri pun telah menelurkan Peraturan No. 9/2016 yang hanya mensyaratkan fotokopi Kartu Keluarga (KK). Warga tidak perlu lagi surat pengantar dari RT, RW dan kelurahan/desa.(BER)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *