Hadapi Cuaca Buruk Ekonomi Indonesia Perlu Reformasi Struktural
JAKARTA, JURNAL123.
Bayang-bayang ketidakpastian ekonomi global masih dihadapi pada awal 2015. Kondisi yang turut dirasakan dampaknya di dalam negeri. Reformasi struktural menjadi tantangan utama menghadapi ‘cuaca buruk’ ekonomi lintas sektor di Tanah Air.
Terpaan angin itu datang dari pengumuman International Monetary Fund (IMF) yang merevisi proyeksi pertumbuhan global. Penurunan harga minyak dan pertumbuhan ekonomi Uni Eropa memicu penyusutan ekonomi dunia.
Layaknya efek domino, kerangka anggaran negara ikut mengalami perubahan. Dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (RAPBNP) 2015, pemerintah merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke arah yang lebih realistis, dari posisi 5,8% menjadi 5,7%.
“Setelah IMF menurunkan pertumbuhan ekonomi global, maka kita revisi baseline dari 5,3% menjadi 5,1%,” sebut Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro di sela acara Mandiri Investment Forum , Selasa (27/1).
Negara perlu tiga kunci mendobrak pertumbuhan ekonomi saat ini. Pertama, menjaga stabilitas konsumsi dalam negeri. Kedua, mendorong investasi infrastruktur, dan ketiga memperkuat sistem layanan satu pintu untuk investor.
Pemerintah telah memperoleh lampu hijau dari parlemen terkait perubahan sejumlah indikator makro ekonomi. Misalnya, nilai tukar rupiah disepakati dari posisi Rp12.200 menjadi Rp12.500 per dolar. Angka tersebut dinilai realistis.
Menkeu mengungkapkan pelemahan nilai tukar akan berpengaruh terhadap penerima perusahaan dalam dolar seperti perusahaan minyak dan gas (migas).
Menurutnya, keperkasaan dolar yang berdampak pada rupiah tidak akan langsung mempengaruhi perbaikan pada neraca perdagangan. Namun, pemerintah masih mengamati kombinasi pelemahan rupiah dengan penurunan harga minyak.
“Keadaan berubah dengan sangat cepat dan drastis. Jadi asumsi makro untuk nilai tukar, dan seperti yang sudah disepakati Rp12.500 per dolar lebih realistis,” ucapnya.
Sementara itu, pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar berada di kisaran Rp12.500 hingga Rp12.600 sepanjang Januari 2015. Selama sepekan terakhir, rupiah telah mencatatkan pelemahan tertinggi di Asia hingga 1,68% atau melemah 2,24% secara year to date.
Meski rupiah menjadi mata uang yang mencatatkan pelemahan paling dalam sepekan terakhir, Bank Indonesia menegaskan akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah. Bank sentral tidak memberikan patokan nilai tukar.
Sisi lain, Bank Indonesia (BI) menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar 5,4%—5,8%. “Kami yakin Indonesia memiliki peluang investasi yang kuat dan seimbang dalam beberapa tahun ke depan. Namun reformasi struktural masih harus dilakukan,” kata Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo.
NILAI TUKAR
Agus Marto menegaskan BI akan selalu berada di pasar dengan fokus pada volatilitas nilai tukar. Bank sentral tidak akan tinggal diam, jika rupiah melemah atau menguat terlalu tajam. Sebab, bank sentral menilai angka Rp12.500 mencerminkan asumsi makro dan fundamental ekonomi domestik.
“Bank Indonesia selalu ada di pasar, tapi BI ingin memberikan fokus pada volatilitas. Paling penting terpelihara stabilitas rupiah, tetapi kami enggak ada menargetkan nilai tukar tertentu,” ucapnya.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Desember 2014 tercatat sebesar US$111,9 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan posisi akhir November 2014 sebesar US$111,1 miliar.
BI membukukan peningkatan cadangan devisa dipengaruhi oleh penerimaan devisa hasil ekspor migas, penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, dan penerimaan pemerintah lainnya dalam valuta asing yang melebihi pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah.
Dari sisi indikator ekonomi, Agus juga mengungkapkan bahwa Indonesia juga masih mencatatkan defisit transaksi berjalan selama 3 tahun. Pada tahun ini, Kabinet Kerja berencana mendorong proyek infrastruktur. Rencana tersebut diperkirakan akan mendorong peningkatan impor barang modal. Sehingga BI memperkirakan defisit transaksi berjalan masih sekitar 3,3%—3,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, ketika rupiah mencatatkan pelemahan, eksportir cenderung membukukan kinerja yang membaik, tetapi pelemahan harga komoditas bakal mengganjal kinerja ekspor Indonesia, sekalipun Indonesia memetik keuntungan dari penurunan harga minyak dunia.
BI optimistis neraca perdagangan akan surplus sekitar US$200 juta pada Desember 2014 serta deflasi di Januari sekitar 0,12% Tingginya kepercayaan terhadap pemerintah yang sedang dalam posisi memperkuat ekonomi memberikan sedikit kesegaran.
Pemerintah ingin memastikan posisi konsumsi setara dengan produksi. Di bawah kepemimpinan duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla, komposisi Kabinet Kerja diharapkan mampu merealisasikan janji mereformasi sejumlah aspek ekonomi.
Tujuannya satu, mendorong efisiensi biaya produksi demi meningkatkan daya saing di pasar global. Bank sentral optimistis pertumbuhan ekonomi dalam negeri masih didukung oleh ekspansi konsumsi dan investasi. Itu sejalan dengan peningkatan kapasitas fiskal untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif, termasuk pembangunan infrastruktur.
Sumber : Bisnis Indonesia,