Opini

Memburu Hati Nurani

Oleh :

Jimmy Endey

WACANA pemerintah untuk membentuk Tim Pemburu Koruptor (TPK) menuai pro dan kontra. Tentunya pendapat atau pandangan siapapun baik kontra maupun mendukung tidak dapat dinilai apakah hal tersebut benar ataupun tidak. Masing-masing dapat diterima sesuai dengan argumentasi logisnya.

Menjadi persoalan saat ini, pemaknaan dari pembentukan TPK adalah kondisi pemberantasan korupsi di negeri tercinta saat ini tengah menjadi sebuah keprihatinan tersendiri.

Hukum menjadi sesuatu yang sulit ditegakkan. Sebaliknya mereka yang memiliki keunggulan finansial seakan mampu ‘membeli’ hukum tersebut. Sehinga bebas membentuk hukum sekehendaknya bahkan ‘meniadakannya’.

Pendapat ICW

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai wacana pemerintah untuk mengaktifkan kembali Tim Pemburu Koruptor tidak mendesak.
“ICW sendiri melihat pembentukan Tim Pemburu Koruptor bukan hal yang urgen saat ini,” ujar Kurnia dalam diskusi virtual, Kamis 16 Juni 2020.

Kritik Kurnia tersebut berkaca pada awal pembentukan Tim Pemburu Koruptor di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004.

Faktanya, kata dia, tim tersebut kemudian dibubarkan pada 2009 karena hasilnya tidak signifikan.
“Praktis dari puluhan buronan yang ditarget saat itu hanya satu saja yang dapat ditangkap yaitu David Nusa Wijaya (mantan Direktur Utama Bank Servitia),” kata Kurnia.

Selain itu, Kurnia memandang bahwa hal yang sangat mendesak saat ini adalah mengevaluasi kinerja penegak hukum. Baik itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, maupun kejaksaan.

Evaluasi itu setidaknya perlu dilakukan sebelumnya tiba pada kesimpulan pembentukan Tim Pemburu Koruptor.

Pasalnya, kata dia, sepanjang Januari hingga Juni 2020, potret penegakan hukum di Tanah Air banyak sekali menyita perhatian publik.

Kasus Djoko Tjandra, salah satunya, yang ramai dibahas dan berpotensi menurunkan kredibilitas penegak hukum.

Mengilangkan Kegaduhan

Kegaduhan seringkali membuat timbulnya suatu pemikiran yang bertujuan meredakan kebisingan suara ‘gaduh’ tersebut. Namun hal tersebut sebetulnya hanya bersifat sementara. Yang paling efektif bukan menghilangkan atau menghentikan suara ‘gaduh’ itu namun menyingkirkan sumber suara tersebut.

Apakah upaya pemerintah dengan wacana pembentukan tim dapat menghilangkan ‘sumber suara’ tersebut ataukah sebaliknya malah menimbulkan ‘kegaduhan’ yang baru?

Perencanaan yang matang dalam membuat kebijakan harus disusun dengan data empiris yang komprehensif, bukan sekadar menghilangkan ‘kebisingan’ apalagi hanya ‘try and error’ yang seringkali terjadi dalam menerapkan suatu kebijakan. Lebih miris lagi jika suatu kebijakan membentuk lembaga hanya sekadar menambah jabatan, sadar atau tidak sadar, akan timbul sikap apriori terhadap oknum tertentu dan terhadap ‘ dana’ mobilisasi.

Pada akhirnya semua terpulang dari niat baik pemerintah atau pembuat kebijakan untuk menegakan hukum dan keadilan yang ‘wajib’ dimulai dari level tertinggi untuk dijadikan teladan, sehingga pada tingkatan dibawahnya akan mudah ‘diselesaikan’.

Hati Nurani menjadi objek dari perburuan yang sebenarnya. Ketika Hati Nurani berhasil diraih maka apapun juga yang akan diraih guna penegakan hukum niscaya akan membawa hasil positif.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *