Sering ‘Googling’ Bisa Picu Dimensia
JURNAL123, KESEHATAN.
Sebelum ada internet, saat seseorang bertanya tentang sesuatu dan orang yang ditanyai tak tahu, ia punya beberapa pilihan untuk mencari tahu jawabannya. Google, pada masanya bukanlah sebuah opsi.
Kala itu, orang harus membuka ensiklopedia, atau pergi ke perpustakaan. Pokoknya berusaha ekstra demi mendapatkan jawaban.
Kini lain soal. Orang tinggal mengakses mesin pencari Google, memasukkan kata kunci, dan klik, sederet jawaban pun tersedia.
Tanpa disadari sebagian orang mungkin tak membayangkan betapa menggunakan mesin pencarian di internet sudah menjadi ketergantungan tersendiri.
Sampai-sampai kerap kali orang tidak memberi waktu bagi otak untuk berusaha mengingat dan memanggil kembali ingatan tentang suatu hal.
Baru-baru ini, seorang peneliti demensia terkemuka mengatakan bahwa menggunakan mesin pencari seperti Google alih-alih menggunakan otak kita dapat meningkatkan risiko demensia. Demikian dilaporkan Mirror.
Profesor Frank Gunn-Moore, direktur penelitian untuk School of Biology di University of St Andrews, mengatakan “Mengupayakan kesehatan otak adalah hal penting, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menggunakannya. Namun, belakangan ini kita tampaknya menyerahkan tugas yang seharusnya diperuntukkan bagi otak kita pada internet.”
Gunn-Moore menambahkan, jika kita sedang mencari tahu sesuatu, kita lebih suka mencarinya secara daring daripada mencoba mengingat informasi dari ingatan kita.
Gunn-Moore bukan yang pertama melakukan penelitian tentang ini. Sebelumnya, dalam sebuah studi tahun 2016, para akademisi di universitas California dan Illinois telah menemukan bahwa ketergantungan orang pada internet telah mengubah cara berpikir dan mengingat sebagian orang.
Dalam penelitian tersebut, dua kelompok orang diminta mengajukan serangkaian pertanyaan sederhana. Satu kelompok diberi tahu untuk hanya menggunakan kenangan mereka, sementara kelompok yang lain harus mencari jawaban secara daring.
Peserta kedua kelompok tersebut kemudian diberi pilihan untuk menjawab pertanyaan mudah dengan metode pilihan mereka.
Ditemukanlah bahwa mereka yang telah menggunakan internet untuk pertama kalinya jauh lebih cenderung melakukannya lagi.
Mereka tidak hanya cenderung merujuk ke internet tapi juga lebih cepat melakukannya. Akibatnya di satu sisi mereka jadi kurang berusaha untuk memikirkan jawaban memanfaatkan otak sendiri, bahkan ketika pertanyaannya sangat mudah.
Benjamin Storm, penulis utama studi tersebut mengatakan, “Padahal, sebelumnya kita mencoba mengingat sesuatu dengan sendirinya, sekarang kita tidak perlu repot. Karena semakin banyak informasi tersedia melalui ponsel pintar dan perangkat lainnya, semakin kita bergantung padanya dalam kehidupan sehari-hari,” papar Storm.
Alzheimer, lumba-lumba, manusia, dan demensia
Dinukil Sunday Post, temuan Gunn-Moore akan disampaikan dalam ceramah utama pada acara tahunan Alzheimer Scotland Christmas di Edinburgh bulan Desember 2017.
Gunn Moore dan rekan-rekan peneliti akan menyampaikan riset kolaboratif dengan para ilmuwan dari Skotlandia, Inggris dan Amerika Serikat yang mengungkap bahwa selain manusia, lumba-lumba juga berisiko terkena Alzheimer.
Salah satu kesamaan umum antara manusia dan lumba-lumba, dan mengapa mereka rentan terhadap Alzheimer, adalah karena cara kerja insulin pada kedua spesies tersebut.
Insulin yang biasanya dikaitkan dengan diabetes, mengatur kadar gula yang ditemukan di dalam darah manusia dan memicu sinyal insulin.
Kesamaan lainnya adalah kenyataan bahwa manusia dan lumba-lumba bisa hidup lama setelah masa subur mereka berakhir.
“Saat sinyal insulin berubah, hal tersebut bukan hanya bisa mempengaruhi diabetes tapi juga demensia. Mereka yang menderita diabetes memiliki peningkatan risiko mengalami demensia,” Gunn-Moore menjelaskan.
Kini, menurutnya peneliti sedang mengamati apakah obat diabetes dapat juga bermanfaat bagi penderita demensia.
Gunn-Moore mengatakan prevalensi demensia sebenarnya sudah mulai menurun. Namun, dengan berkembangnya ilmu pengetahuan banyak orang yang bisa hidup lebih lama, angkanya pun terus naik.
“Ada bukti bahwa jika kita menjalani gaya hidup sehat, kita bisa menyingkirkan sepertiga dari kasus tersebut,” imbuhnya.
Namun, layak diingat walau orang sudah paham bahwa gaya hidup sehat dapat menangkal penyakit jantung, angka obesitas juga tak kunjung turun malah naik. Jadi, menurut Gunn-Moore, ini adalah masalah sosial.(BER)