RUU KUHP Berpotensi Ancam Kebebasan Pers
JURNAL123, JAKARTA.
Lembaga Bantuan Hukum Pers, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Media Indonesia dan AJI Jakarta menilai naskah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) yang sedang dibahas DPR dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia.
Dalam siaran persnya, Selasa (10/10/2017), disebutkan pada pasal-pasal yang sudah dibahas terdapat tindak pidana terhadap proses peradilan atau “contempt of court” yang berpotensi mengancam kebebasan pers dan berekspresi yang sudah dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, AJI Indonesia, FSPMI dan AJI Jakarta menilai naskah RUU KUHP berpotensi melakukan kriminalisasi yang berlebihan terhadap pers yang meliput sidang di pengadilan, yaitu Pasal 328 dan Pasal 329.
Pasal 328, yang dikatakan mengadopsi Pasal 217 KUHP, ternyata dimaknai berbeda. Pasal 217 KUHP mengatur tentang seseorang yang membuat keributan di ruang sidang pengadilan dapat diancam pidana penjara paling lama tiga minggu.
Namun, Pasal 328 RUU KUHP ternyata bukan hanya ditujukan untuk kondisi di dalam ruang sidang, melainkan juga berlaku untuk seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai pengadilan. Ancaman hukumannya pun menjadi lima tahun, bukan tiga minggu.
Sedangkan Pasal 329 RUU KUHP salah satunya mengatur pidana penjara paling lama lima tahun terhadap seseorang yang menghina hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan dan publikasi yang dapat memengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam pengadilan.
Menurut LBH Pers, AJI Indonesia, FSPMI dan AJI Jakarta, hal itu berpotensi bertentangan dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi, tidak ada penyensoran, pembreidelan atau pelarangan siaran dan hak pers untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal tersebut berpeluang menimbulkan multitafsir dan menjadi “pasal karet” sehingga dapat digunakan untuk menyasar siapa pun yang mengkritisi hakim.
Selain itu, pasal tersebut seolah-olah menempatkan hakim berpihak karena dipengaruhi oleh masyarakat atau media dan menyalahkan masyarakat yang mencoba kritis. Padahal, hakim dan pengadilan seharusnya mampu menerapkan prinsip independensi yang tidak bisa dipengaruhi oleh hal apapun.(OKE)