NKRI Siaga Satu?
CATATAN TENGAH, Rabu 4 Oktober 2017
Oleh Derek Manangka
Aku menyesal, mengapa terlahir di negeri ini. Kalau saja aku orang kaya seperti politisi Golkar Setya Novanto dan boleh mem-Pra Peradilan-kan DIA yang sang Maha Pencipta, aku sudah sewa pengacara mahal untuk menggugatNYA.
Apalagi kalau aku bisa memilih Hakim Tunggal yang berani membantu kemenanganku.
Alasanku, semakin tua usiaku, bukannya aku merasa tenang. Aku justru makin galau, frustrasi dan pesimis tentang masa depan negaraku.
Aku tidak lagi bertanya tentang Indonesia di tahun 2045, saat kemerdekaan RI mencapai 100 tahun. Melainkan lebih ke soal masa depan anak-anak dan cucu-cicitku kelak bila harus hidup di negeri yng situasinya seperti sekarang ini ?
Bagaimana tidak bertanya dan sekaligus pesimis ?
Krisis politik, ekonomi dan sosial, tak kunjung berakhir.
Reformasi 1998 yang digadang-gadang bakal membangkitkan Indonesia dari ketertinggalan, menurut asumsiku, sudah gagal total. Ukurannya sederhana. Negara lain yang dilanda krisis moneter tahun 1997, sudah stabil dan makin berkembang, sementara kita tetap dililit oleh krisis. Krisis pun sudah berubah menjadi multi dimensi.
Kegagalan, bukan karena faktor eksternal. Tetapi lebih karena faktor internal. Dalam kurun waktu 19 tahun, kita sudah memilih lima Presiden. Tanyalah pada diri masing-masing, perubahan apa yang bisa ditunjukkan sebagai hal yang lebih baik, yang dilakukan oleh kelima Presiden kita.
Kecenderungan yang ada, setiap elit penguasa, hanya memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongannya. Kampanye Pemilu, hanya bualan belaka.
Presiden Jokowi mengkleim bahwa dia merupakan Panglima Tertinggi.
Dalam waktu kurang dari 24 jam, kleim itu sudah dipersoalkan oleh seorang Salim Said.
Doktor lulusan Amerika yang pernah di-Dubes-kan oleh Presiden SBY ini, mengoreksi kleim Preisden Jokowi.
Dimata penulis buku “The Genesis of Power”, Jokowi bukanlah Panglima Tertinggi.
Aku hanya bisa tersenyum. Hadew Pak Jokowi dan Mas Bro Salim Said.
Napa yang begini yang dipersoalkan oleh kalian berdua ?
So What gitu loh.
Pertentangan di kalangan elit, semakin tajam – yang dampak negatifnya sangat terasa di masyarakat bawah. Rakay dan kepentingan masyarakat luas, hanya dijadikan topik jualan.
Dan ironisnya, pertentangan itu terjadi karena adanya ambisi kekuasaan. Kekuasaan dan nafsu menjadi kaya raya dua-duanya sangat kuat.
Sistem politik yang kita anut semakin rumit. Antara lain karena esensi isi dari UUD 45 dan Panca Sila yang menjadi dasar negara kita, bertentangan, bertolak belakang. Namun kita pura-pura tidak tahu dan tidak peduli.
UUD 45 yang diamandemen tahun 2002, jiwa dan semangatnya adalah liberal. Dimana pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak.
Sedangkan Panca Sila, berkata lain: Pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat !
Akibatnya, sistem politik yang kita anut – pelaksanaannya menimbulkan banyak perdebatan. Kita berdebat dengan menggunakan parameter yang tidak sama.
Demokrasi ala UUD 45, kita gunakan mendebat cara pikir demokrasi ala Panca Sila. Mana mungkin bisa nyambung?
Akibatnya perdebatan tak berujung dan mungkin sampai Tahun Baru Kuda pun, tak akan ada kesepahaman.
Nah kalau soal sistem saja, kita tidak bisa bersepaham, bagaimana mungkin negara dan bangsa ini bisa dibangun bersama?
Krisis politik terbaru adalah soal sikap Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Jenderal ini sesungguhnya cukup layak menjadi RI-1. Sayangnya, belum apa-apa dia sudah ciptakan kegaduhan.
Baru di era Presiden Jokowi, seorang Panglima TNI secara terbuka menyatakan, dia tidak merasa sebagai bawahan dari Menteri Pertahanan.
Seandainya, Menteri Pertahanan saat ini dari kalangan sipil, pernyataan Jenderal Gatot masih bisa dipahami.
Namun berhubung Menteri Pertahanan RI sekarang, juga seorang jenderal pensiunan dan berasal dari matra yang sama dengan Panglima TNI, maka pernyataan tersebut membuat banyak orang bingung dan bertanya. Ada apa dengan para jenderal ? Ada persoalan apa di tubuh TNI ?
Artinya, pernyataan itu bisa menjadi bukti bahwa persatuan dan kekompakan di kalangan TNI AD, sedang bermasalah serius.
Ada ‘gap’ yang menganga yang memisahkan antar generasi di tubuh TNI.
Dua jenderal yang sama-sama pernah didoktrin tentang sapta marga, memiliki penafsiran yang berbeda soal garis perintah dan komando.
Kami di korps wartawan saja, sekalipun tidak dididik secara disiplin dan dalam sistem komando, tetapi kalau sudah bicara soal generasi dan senioritas, soal kepatutan dan etika itu, tetap kami kedepankan.
Tidak bisa dibayangkan, kalau budaya yang tidak saling respek seperti ini berlanjut.
Junior TNI tidak merespek seniornya.
Mau kemana dan mau jadi apa TNI kita ? Masih bisakah kita percaya TNI sebagai garda terdepan dan percaya sebagai kekuatan pemersatu bangsa ?
Rakyat dan bangsa Indonesia, patut berterima kasih, sebab Jenderal (Purnawirawan) Ryamirzad Ryakudu, cukup berjiwa besar mendapatkan “sindiran” dari juniornya.
Namun yang terus tinggal dalam rekaman memoriku, Indonesia, negara tempat aku dilahirkan, sudah tidak memiliki kesatuan TNI yang solid. Dan tidak solid-nya TNI, akan menjadi awal kehancuran NKRI.
Kita sudah membacara sejarah kelam TNI, pengkhianatan G30S/PKI.
Peristiwa itu menurut persepsiku, bisa terjadi karena TNI sendiri, pada era itu, 52 tahun lalu, sudah tidak solid. TNI berhasil diadu domba. Tentara disusupi PKI lalu terjadilah pembantaian terhadap enam perwira tinggi dan satu kolonel.
Saya atau aku tidak sependapat dengan bantahan sejumlah pengamat bahwa pengkhianatan PKI di tahun 1965 itu, murni sebagai sebuah kejahatan Partai Komunis Indonesia.
Menurut analisaku yang diruntun dari berbagai referensi selama lebih dari 30 tahun, ketidak solidan TNI, ikut memberi saham atas terjadinya pengkhianatan tersebut.
Keterlibatan Kolonel Untung dan sejumah perwira TNI AD yang berpangkat jenderal, jelas sebuah bukti adanya konflik internal di TNI.
Bahkan disebut-sebutnya pihak TNI AU terlibat dalam pelatihan kader PKI di Lobang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur, semakin menunjukkan adanya konflik internal di kalangan militer. Terutama karena tuduhan itu datangnya dari pihak TNI AD.
Krisis politik lainnya, soal kemenangan Setya Novanto di Pra Peradilan.
Diukur dari berbagai pernyataan sejumlah netizen di berbagai media sosial, jelas ada ketidak percayaan sekaligus kecurigaan kepada hakim tunggal Cepi Iskandar.
Aku peduli dengan sikap para netizen yang jumlahnya mencapai puluhan juta. Jadi serendah apapun suara dari kritikan netizen, tidak boleh kita abaikan. Aku sependapat bahwa media sosial, sudah banyak menggantikan pengaruh dari media-media main-stream.
Memang tak ada pengerahan massa yang ingin mendemo ke kediaman Hakim Cepi Iskandar. Tapi itu tidak berarti, masyarakat takut atau bisa menerima begitu saja keputusan hakim tungggal tersebut.
Rasa ketersinggungan masyarakat yang diakibatkan oleh keputusan hakim Cepi Iskandari terus membungka. Seiring dengan tanggapan KPK bahwa setidaknya ada tujuh kejanggaran yang dibuat oleh Cepi Iskandar.
Rakyat paling tidak komunitas terbatas yang aku kenal, terus bertanya, apakah Presiden Joko Widodo sebagai pucuk pimpinan negara ini, tidak sadar. Bahwa masyarakat mencurigai permainan pat gilipat petinggi Golkar dalam perkara Setya Novanto di skandal e-KTP ?
Nama seorang Menteri di kabinet Jokowi yang dikenal sebagai orang yang cukup dekat dengan Setya Novanto, mulai santer dibicarakan. Lebih tepat disebut DISOROT.
Pasalnya Menteri ini dikenal sebagai orang yang terkesan sangat membentengi kepentingan Setya Novanto di Golkar maupun di DPR.
Menteri inilah yang dicurigai menjadi semacam “king maker” sehingga Setya Novanto yang sudah terpilih selaku Ketua DPR – masih meraup jabatan Ketua Umum DPP Golkar. Maka semakin kuatlah cengkeraman Golkar terhadap pemerintahan PDIP.
Ada yang tidak etis, dalam kasus ini. Sekalipun Golkar yang mempecundangi PDIP dalam soal pembagian jabatan dan pimpinan di parlemen – dan Jokowi bisa diposisikan sebagai kader PDIP, tapi pembantu Presiden ini tak sungkan-sungkan mendukung posisi politik Golkar. Dia bisa bermain di dua kaki.
Menteri yang sama yang juga dianggap membela Setnov dalam kasus “Papa Minta Saham”.
Semua ini membuat kredibilitas Jokowi sebagai Presiden yang “lugu”, “bersih”, “tidak korup” tercoreng.
Dan hal ini termasuk yang membuatku pesimis tentang masa depan Indonesia.
Krisis ekonomi teranyar, soal Surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Menteri ESDM yang mengkhawatirkan tentang ketidak mampuan PLN, membayar hutang.
Di sini juga sepertinya terjadi praktek yang tidak beretika.
Surat Menteri Keuangan yang isinya cukup sensitif, bisa bocor ke publik. Aku ragu bocornya surat itu, kalau dikatakan tanpa sengaja. Maaf, hari gene masih ada yang menganggap teman-teman dan saudaraku, rakyat Indonesia masih bisa dibohongi oleh pejabat publik ? Kuno tau!
Semakin tidak beretika lagi, ketika Dirut PLN membantah apa yang dikhawatirkan oleh Menkeu. Seakan-akan terjadi adu kepintaran antara Dirut PLN dan Menkeu.
Negara atau pemerintahan macam apa ini ? Koq ketidak kompakan di antara penguasa, dipertontonkan secara telanjang ?
Kalau mau telanjang, masuk lah ke kamar mandi atau kamar hotel. Jangan di “mall netizen”.
Aku tidak berani menudsiapa ing siapa dia antara kedua pejabat ini yang pembohong dan pembodoh.
Tapi yang pasti dengan kejadian ini menunjukkan, keduanya sebetulnya tidak patu diberi kepercayaan mengelolah negara.
Itu sebabnya aku bertanya apakah para elit yang berkuasa sekarang memang semuanya sudah dijangkiti oleh penyakit yang tak tau soal etika ?
Apakah negara yang kita cintai ini memang sedang berproses menuju ke sebuah negara yang bernama “Republik Pisang” atau “Banana Republic?”
Bagi yang tidak paham apa maksud dengan “Banana Republic” aku sarankan untuk buka Wikipedia atau bertanya ke Pak Bos Sofyan Wanandi dari CSIS.
Sebab, Bang Sofyan, Pengusaha sekaligus bagian dari tim sukses yang mendirikan rezim penguasa ini, dialah yang pertama-tama menyebut Indonesia berpotensi menjadi “Banana Republic”.
Ungkapan itu dikemukakannya, pada saat “ketegangan” yang diakibatkan pro kontra pernyataan oleh Rizal Ramly di awal pemerintahn Jokowi, tengah memanas. *****