Densus Antikorupsi Harus Terapkan Hukuman Mati
JURNAL123, JAKARTA.
Indonesia Police Watch (IPW) menegaskan, Densus Antikorupsi yang akan dibentuk Polri untuk memberantas tindak pidana korupsi harus berani membuat terobosan agar ada efek jera yang membuat orang takut melakukan korupsi. Dalam konteks ini, Densus Antikorupsi harus berani mengenakan pasal hukuman mati untuk para koruptor. Kemudian, menerapkan pasal pemiskinan untuk keluarga koruptor.
Jika terobosan-terobosan ini bisa dilakukan Densus antikorupsi, maka publik pasti akan mendukung dan keberadaannya akan disambut luas oleh masyarakat. Sebaliknya, jika tidak, maka nasib Densus Antikorupsi tidak akan jauh berbeda dengan lembaga-lembaga pemberantasan korupsi yang pernah ada.
Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Presidium IPW Neta S Pane kepada SP, Selasa (10/10/2017).
Dikatakan, soal pemenuhan fasilitas kerja dan peningkatan biaya operasional itu hanya merupakan hal normatif. Tapi, yang lebih penting adalah membangun roh dan jiwa Densus Antikorupsi itu dengan sikap tegas dan konsisten, yang bisa membuat para penyelenggara negara di negeri ini jera melakukan aksi korupsi karena akan bisa membuat dirinya dihukum mati dan keluarganya dimiskinkan. Tidak seperti sekarang ini di mana para koruptor jadi selebritis dan setelah selesai menjalani hukuman, ia dan keluarganya menjadi kaya raya.
Neta Pane mengatakan, persoalan korupsi di negeri ini terus tumbuh dan berkembang. Meski KPK sudah melakukan penangkapan dan makin agresif melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT), korupsi bukannya habis tapi malah makin marak. Kini Komisi III DPR sudah membahas keberadaan Densus Antikorupsi dan anggarannya Rp 975 miliar untuk tahun 2018, mampukah lembaga ini bekerja sama dengan KPK dan bahu membahu memberantas korupsi?
“Pantauan IPW, penyelenggara negara dan pengusaha yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintahan seakan tidak peduli dan tidak takut dengan KPK. Kalau pun ada yang tertangkap mereka menilai yang bersangkutan sedang sial. Mereka yang tertangkap nekat pasang badan karena uang hasil korupsi sebelum tertangkap, sudah mereka kumpulkan sedemikian rupa dan begitu bebas dari penjara mereka malah makin kaya raya,” ujar Neta S Pane seperti diberitakan Suara Pembaruan, Selasa (10/10/2017).
Menurut Neta, fakta-fakta inilah yang membuat korupsi makin tumbuh subur di negeri ini, walau sudah ada KPK. Artinya, tutur dia, keberadaan KPK dianggap enteng oleh para pejabat, koruptor, dan pengusaha penyuap. Mereka tidak takut karena KPK, aparat penegak hukum, dan pemerintah karena mereka tidak kunjung berhasil membuat efek jera. Bahkan, KPK malah sering dituding tebang pilih dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Neta menyebutkan, luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya jumlah institusi serta banyaknya jumlah pejabat penyelenggara negara, tentu membuat KPK tidak berdaya dan tidak mampu mengamankan negeri ini dari jarahan pejabat korup. Apalagi, ujarnya, berbagai inspektorat yang ada di setiap institusi tidak melakukan upaya maksimal untuk mencegah terjadinya korupsi, sehingga keberadaan KPK dalam pemberantasan korupsi seakan tidak membawa hasil maksimal.
“Melihat makin maraknya korupsi dan makin tidak berdayanya KPK, usulan perlunya Densus Antikorupsi menjadi sesuatu yang menarik. Apalagi, usulan itu datang dari Polri,” tuturnya.
Pertanyaannya kemudian, kata Neta, selama ini Polri “ke mana saja”? Bukankah di Polri sudah ada Dirtipikor. Lalu seperti apa peran dan gebrakannya dalam pemberantasan korupsi di negeri ini?
Neta mengatakan, memang keberadaan Dirtipikor Polri dipenuhi keterbatasan, mulai dari terbatasnya anggaran operasional, peralatan kerja, hingga wewenang. Inilah yang membuat Dirtipikor Polri sering tidak berdaya menghadapi para koruptor. Sehingga, usulan dibentuknya Densus Antikorupsi bisa dianggap sebagai sebuah terobosan untuk mengkonsolidasikan kekuatan aparatur penegak hukum dalam memerangi korupsi di negeri ini.
Ia menekankan, tentunya untuk mewujudkan terobosan ini tidak mudah. Tantangan terbesar yang akan dihadapi adalah tidak munculnya kepercayaan publik, mengingat citra Polri begitu buruk di masyarakat. Persoalan ini, paparnya, yang perlu menjadi prioritas utama bagi Densus Antikorupsi untuk dibenahi dengan kerja nyata.
Persoalan lainnya agar kepercayaan publik muncul, kata Neta, Densus Antikorupsi harus segera membersihkan lingkungan kepolisian dari dugaan korupsi, suap, dan pungli. Sehingga, kesan sapu kotor untuk membersihkan rumah yang kotor tidak berkembang memojokkan Densus Antikorupsi.
Sumber: Suara Pembaruan