Batik Dan Sejarahnya
JURNAL123, JAKARTA.
Senin (2/10/2017) bertepatan dengan Hari Batik Nasional.
Orang-orang Jawa seringkali menyebut batik sebagai rangkaian dari dua kata, yaitu amba yang berarti menggambar atau menulis, dan tik, dari kata titik. Hambatik atau ambatik lalu diartikan sebagai menggambar titik-titik.
Pengertian itu sesuai dengan kesepakatan Konvensi Batik Internasional yang diselenggarakan di Yogyakarta tahun 1997 yang mendefiniskan batik sebagai proses penulisan gambar atau ragam hias pada media apapun dengan menggunakan lilin batik (wax/malam) sebagai alat perintang warna. Pada pembuatan batik, lilin batik diaplikasikan pada kain untuk mencegah penyerapan warna pada saat proses pewarnaan.
Seni pewarnaan dengan teknik perintang ini telah dikenal semenjak abad ke-4 SM, dengan diketemukannya kain pembungkus mumi yang juga dilapisi malam untuk membentuk pola. Di Asia, teknik serupa batik juga diterapkan di Tiongkok semasa Dinasti Tang (618-907) serta di India dan Jepang semasa Periode Nara (645-794).
Namun teknik menghalangi warna untuk menciptakan pula berkembang paling pesat di Indonesia. Batik Nusantara dipercaya sudah ada semenjak zaman Majapahit, dan berkembang di berbagai tempat di Indonesia dalam pola beragam hingga sekarang.
Bila kita melihat arca atau relief kuno di Jawa, kita akan mendapati bukti keberadaan batik di Indonesia sejak lama. Pola-pola batik seperti pada arca Prajnaparamita, arca dewi kebijaksanaan dari abad ke-13 yang ditemukan di Jawa Timur memperlihatkan detil pakaian berpola sulur tumbuhan dan kembang-kembang yang mirip dengan pola batik tradisional Jawa.
Kerumitan pola seperti itu, menurut beberapa peneliti, kemungkinan besar dihasilkan menggunakan canting. Artinya canting sebagai alat pembatik sudah dikenal di Jawa sejak abad ke-13 atau sebelumnya, dan bisa jadi alat itu memang muncul di Jawa.
Biasanya, beragam lapisan masyarakat mulai dari pegawai pemerintah, pegawai BUMN, hingga pelajar dianjurkan untuk memakai batik.
Tanggal 2 Oktober yang ditetapkan sebagai Hari Batik Nasional berawal dari penetapan batik oleh UNESCO, sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Setelah penetapan itu, maka Indonesia memperingatinya sebagai Hari Batik Nasional.
Ini juga dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009.
Di dunia luar, batik pertama kali diperkenalkan oleh Presiden Suharto, saat mengikuti konferensi PBB.
Meskipun demikian, diakuinya batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh dunia, tidak serta merta diperoleh.
Batik sempat hampir ditinggalkan oleh masyarakat, termasuk generasi muda. Hingga akhirnya, batik hampir saja diklaim oleh Malaysia.
Saat itulah seolah masyarakat menjadi tersadar, bahwa batik adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan. Menghadapi persoalan itu, Pemerintah Indonesia tak tinggal diam.
Tahun 2008, pemerintah mendaftarkan batik ke dalam jajaran daftar Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi UNESCO.
Setelah diterima secara resmi pada 9 Januari 2009, beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 2 Oktober 2009, UNESCO mengukuhkan batik Indonesia dalam daftar Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi, di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab.
Batik berhasil diakui dunia internasional sebagai warisan budaya asli Indonesia, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat ini, batik telah menjadi bagian sehari-hari kehidupan masyarakat Indonesia. Modelnya juga sudah beragam dan mengikuti tren fashion kekinian.
Jika dulu warna batik hanya identik dengan coklat dan hitam, maka kini berbagai kombinasi warna-warna lain seperti ungu, merah, hijau hingga kuning, sudah dapat dengan mudah ditemui.
Oleh karenanya, bila di Hari Batik ini Anda ingin merayakan budaya batik dengan mengenakan batik, maka pastikan yang Anda pakai adalah batik, bukan kain bermotif batik. Selamat berbatik ria, selamat membudayakan produk asli dalam negeri (TRI/MEN)