Jumat, April 19, 2024
spot_img
BerandaOpiniDahlan Iskan, Kehidupannya Pasca Keputusan Bebas Korupsi

Dahlan Iskan, Kehidupannya Pasca Keputusan Bebas Korupsi

Derek Manangka
Derek Manangka

CATATAN TENGAH, Senin 11 September 2017

Oleh : Derek Manangka

JAKARTA – Ketokohan, popularitas dan kharisma seseorang tak bisa dibentuk dan terbentuk dalam waktu satu malam. Butuh waktu lama prosesnya. Alam tidak bisa dipaksa ataupun diakali. (Hampir) sama dengan soal kebenaran. Yang tak bisa dimanipulasi maupun disembunyikan.

Inilah yang terjadi dengan diri Dahlan Iskan (DI). Seorang reporter dari sebuah suratkabar daerah – 35 tahun lalu, yang kini sudah menjelma sebagai Raja Media sekaligus salah seorang figur politik non-partisan yang mewakili masyarakat madani.

Dia menjadi tokoh populer dan tercatat sebagai salah seorang sosok berkharisma yang diperhitungkan oleh partai-partai politik – menjelang Pilpres 2019.

Dari mana mengukurnya ?

Di tahu 2013, DI keluar sebagai pemenang peserta kontes calon Presiden dalam Konvensi Partai Demokrat, partai pimpinan SBY – Presiden ke-6 Republik Indonesia. DI ikut dalam kontestasi tersebut, bukan karena obsesi dan ambisinha menjadi Presiden. Tapi karena DI secara khusus diminta oleh SBY untuk bersaing dengan 9 peserta lainnya.

Sekalipun menang, bekas Menteri BUMN dan Dirut PLN tersebut tidak maju dalam kontestasi Pilpres 2014. Berhubung Partai Demokrat, yang menjadi kendaraan politik SBY selama 10 tahun, tidak meraih suara minimum Presidential Treshold 20%.

Saat ini DI merupakan satu-satunya figur Indonesia – yang kehidupannya sudah dibukukan dalam 30 buah judul. Sebuah rekor tersendiri dalam dunia literatur.

Boleh jadi baru DI, Raja Media yang cerita tentang diri dan reputasinya, dibukukan seperti itu.

Dan salah satu keunikan dari buku tentang DI, sebagian diantaranya ditulis secara sukarela oleh mereka yang hanya mengenalnya dari ‘jarak jauh’ saja.
Buku tentang kehidupan dan capaiannya, ditulis dalam format yang berbeda dengan Raja Media seperti Jakob Oetama (Kompas) atau Surya Paloh (Metro TV).

Buku yang ditulis Rhenald Kasali, merupakan salah satu contohnya.
Rhenald yang pakar manajemen dari Universitas Indonesia dan berdomisili di Jakarta, membukukan DI, putera daerah yang bermukim di Surabaya, hanya berdasarkan kumpulan ciutan para pengguna media sosial twitter.

Dalam dunia layar lebar, di luar perbukuan, kehidupan DI difilmkan pada “Sepatu Dahlan Iskan” oleh produser yang berempati kepadanya. Lagi-lagi hal ini membedakannya dengan Raja Media yang disebutkan di atas.

Sewaktu DI dituduh terlibat korupsi, sebuah media online yang tidak terkait dengan jaringan medianya, melakukan penelitian. Tentang bagaimana harian “Jawa Pos” serta lusinan media cetak miliknya memberitakan perkaranya.

Substansinya adalah publik Indonesia, masyarakat Jawa Timur khususnya, rata-rata tidak percaya atas tuduhan korupsi yang dialamatkan kepada DI. Mereka sebaliknya curiga bahwa tuduhan korupsi terhadapnya dipaksakan.

Masyarakat madani yang sudah terlanjur berempati kepada DI, tidak melihat adanya aura dan sifat koruptif dari lelaki berbadan kurus yang kesederhanaan penampilannya mirip-mirip Presiden Joko Widodo.

Gara-gara tuduhan korupsi itu, DI ditangkap petugas penegak hukum lalu menjebloskannya ke dalam penjara.

DI akhirnya mendapatkan keringanan. DI yang menderita penyakit kronis – salah satu ginjalnya sudah diganti dengan milik orang lain, diizinkan oleh pengadilan untuk menjalani pengobatan. DI diizinkan tinggal di luar penjara dengan status tahanan kota.

Masyarakat yang curiga atau tidak percaya atas tuduhan korupsi terhadap DI, ingin memprotes. Tapi mereka hanya bisa bergumam dan bergerutu di dalam ruang terbatas.

Akan tetapi gumaman dan gerutuan mereka ternyata tetap bergema keluar. Para hakim yang menyidangkan perkaranya, mendengar. Hasilnya, Pengadilan Tinggi Surabaya dalam sidangnya terakhir, mengabulkan permintaan DI agar dia dibebaskan dari segala tuduhan.

Pembebasan yang menjadi konsumsi media sejak Senin 4 September 2017 disambut dengan rasa suka cita oleh para sahabat dan tentu saja terutama keluarganya.

DI pun pada hari itu juga menjamu makan siang seorang sahabat lama yang dulunya miskin, tapi kini sudah menjadi salah seorang kaya raya di Jawa Timur.

DI, 66 tahun, melakukan “syukuran” dengan cara sederhana seperti itu, sebab sejatinya, DI sebagai seorang konglomerat, sebelumnya, pada usianya di bawah 30 tahun, merupakan seorang ‘konglomelarat’.

Akan tetapi bukan sambutan itu saja peristiwa menarik. Hal lainnya yang menarik sekaligus menunjukkan bahwa DI seorang tokoh populer berpengaruh dan kharismatik, terlihat dari sambutan masyarakat madani dan pluralistis.

Saat saya bertamu ke kediamannya Kamis 7 September 2017, di luar rumahnya terparkir sejumlah mobil dan motor miliki para tetamunya. Mereka dari kalangan orang yang berstatus sosial yang cukup tinggi, sampai yang tergolong tak punya status.

Di sana masih ada Papan Kembang kiriman AM Hendropriyono, mantan Kepala BIN dan Ketua PKPI. Yang menyambut kebebasan DI.

“Tunggu sebentar yah”, ujar DI ketika saya melewati pintu gerbang yang dibiarkan terbuka lalu duduk di kursi yang berada di ruang garasi mobil.
Saat itu DI sedang melayani seorang lelaki muda, berusia 30-an.

Sang tamu yang mengaku tidak punya uang dan tempat tinggal, serta saya lihat tiga gigi depannya sudah copot, bermaksud menawarkan salah satu ginjalnya kepada DI. Harganya, belum ditawar, sebanyak Rp. 80,- juta.

Negosiasi antara DI dengan si penjual ginjal, cukup alot. Sebab DI ngotot agar lelaki muda itu tak perlu menjual ginjalnya. Lebih baik dia mencari pekerjaan sebagai “sales man”. Untuk bulan pertama DI menyanggupi membantunya dengan membayar uang kosnya.

Negosisasi belum lagi menemukan titik temu sementara tamu dari Kalimantan Utara, sudah melewati pintu pagar. Sang tamu, tidak lain adalah Irianto Lambrie, Gubernur terpilih pertama Kalimantan Utara.

Lambrie dan DI sudah bersahabat lebih lebih dari 30 tahun. Saat DI masih menjadi reporter harian “Manutung” di Samarinda.

Sembari menyambut Gubernur Lambrie, si penjual ginjal pun ditawari DI untuk bermalam di rumahnya.

Gubernur Lambrie menemui DI untuk menyampaikan ucapan terima kasihnya. Sebab pada Jumat 8 September 2017, esok harinya, di kantor “Jawa Pos” digelar acara pelepasan mahasiswa-mahasiswi yang belajar ke RRT.

Dari 360 orang, yang semuanya diberi beasiswa oleh DI untuk belajar ke RRT, rekrutan asal Kalimantan Utara menempati porsi paling banyak.
Bagi Gubernur Kaltara, apa yang dilakukan oleh DI merupakan investasi kemanusiaan yang tak ternilai harganya. Investasi mana sangat berharga dalam bidang SDM (Sumber Daya Manusia).

Gubernur Lambrie berharap, sekembali para mahasiswa-mahasiswinya dari RRT ke Kaltara, mereka akan menjadi tenaga trampil yang bisa ikut membangun provinsi termuda tersebut.

Kaltara sebut Lambrie, merupakan salah satu provinsi terbaru – hasil pemekaran dari provinsi Kalimantan Timur yang memiliki potensi besar yang bisa memajukan Indonesia.

Luas wilayahnya melebihi Jawa Timur. Perbedaannya, kalau Jawa Timur dikenal sebagai salah satu provinsi berpenduduk terbanyak (puluhan juta orang, penduduk Kaltara tidak sampai satu juta manusia.

Status DI sebagai tertuduh korupsi, memang masih “menggantung”. Sebab Jaksa Penuntut Umum yang menuntut hukuman bagi DI, kabarnya masih akan naik kasasi. Tetapi apapun hasilnya, sudah sulit dibantah bahwa waktu dan keadilan, sudah berpihak kepada DI.

Opini publik sudah dibentuk oleh alam dan waktu bahwa kemenangan DI di pengadilan tingkat provinsi, merupakan jawaban logis atas pencarian sebuah keadilan.

DI, seseorang yang banyak berkontribusi untuk negara dan menolong mereka yang tidak mampu, tidak pantas dihukum karena tuduhan korupsi.
Di kalangan Eksekutif atau penentu kebijakan, masalah DI nampaknya juga sudah menjadi sorotan. Telah muncul upaya mencari benang merah, mengapa DI yang berhasil membubarkan “Petral” dan menurunkan tarif listrik di era SBY, justru dijerat oleh kasus korupsi yang nilainya relatif kecil ?

Ada apa dengan pemerintahan Joko Widodo dengan pemerintahan SBY sebelumnya ?

Sebelum DI memenangkan perkaranya di tingkat banding, pada pertengahan Juli 2017, tak kurang seorang Luhut Panjaitan, Menteri Senior dalam Kabinet Joko Widodo, menemuinya secara khusus di kediaman DI, di Surabaya.

Pertemuan itu sendiri terjadi tak lama setelah sebuah media sosial menayangkan dokumen berupa video. Yang isinya menunjukkan peran besar DI sebagai pemilik media yang memiliki komunitas dan relawan cukup besar, mendukung Jokowi sebagai calon Presiden RI dalam Pilpres 9 Juli 2014.

Dokumen video itu seakan membuka tabir. Bahwa DI memiliki peran yang cukup strategis dan tidak kalah dengan peran mereka yang mendukung Jokowi secara terbuka dan berapi-api.

Bahwasanya DI tersisih atau terlupakan oleh Jokowi yang sudah berhasil memenangkan Pilpres 2014, hal itu merupakan sebuah isu yang menarik untuk jadi bahan kajian.

Setelah kemenangan DI di Pengadilan Tinggi Jawa Timur, situasinya berubah dan cenderung berbalik. DI mulai dilihat sebagai seorang figur nasional yang punya potensi menjadi penyeimbang atau pendukung sebuah kekuatan.

Sejumlah permintaan audisi, terus mengalir ke kantor maupun ke kediamannya.

Statusnya sebagai Raja Media yang menguasai suratkabar “Radar” di lebih dari 200 kota di seluruh Indonesia, ditambah 45 buah televisi lokal, plus JPNN (Jawa Pos News Network), kelihatannya mulai diperhitungkan.
Yang memperhitungkannya bukan saja para para politisi dan pimpinan partai, tetapi termasuk pebisnis.

Eddy Widjaya, seorang pengusaha perfilman, termasuk yang memperhitungkan posisi DI. Karena di mata pengusaha asal Medan, Sumatera Utara ini, dengan kepemilikan media seperti itu, DI memiliki keunggulan yang berbeda dengan raja-raja media lainnya.
Dan atas perhitungan itulah, Eddy secara khusus terbang ke Surabaya, hanya untuk meyakinkan agar DI bersedia dia filmkan.

Alokasi waktu yang diberikan DI untuk Eddy Widjaya, tak lebih dari setengah jam. Namun Eddy Widjaya merasa mendapatkan sesuatu yang tak ternilai sekalipun untuk menemui DI, dia harus menghabiskan waktu dua hari dua malam di kota buaya tersebut.

“Bisa bersalaman dengan Pak DI saja, bagi saya, sudah merupakan hal yang luar biasa. Yang saya rasakan saya diterima secara akrab, seperti sudah berkawan lama. Usulan saya didengarkan dengan baik. Luar biasa”, tutur Eddy, 47 tahun sebelum meninggalkan kediaman DI.

DI dikenal sebagai raja media yang penampilannya sehari-hari, bersahaja. Sampai-sampai ada yang menyamakan DI seperti seorang petani tambak sukses yang menggeluti bisnis udang dan ikan bandeng.

Walaupun penghasilannya per hari bisa mencapai milyaran rupiah, tetapi DI tetap bersahaja. Meminjam kata-kata seorang politisi Soekarnois.

“DI itu seorang marhaen sejati. Semangat berjuangnya sangat tinggi. Wawasannya tentang Kebangsaan, sangat luas. Perbedaannya dengan Marhaen versi Soekarno, DI seorang yang kaya raya sementara gaya hidupnya tetap seperti orang kebanyakan”.

Pujian seperti ini, mencerminkan, DI sudah menjadi sosok yang (kembali) diperhitungkan. *****
==========

 Foto : Dahlan Iskan diapit Eddy Widjaya,(kanan)  Eksekutif Produser sebuah perusahaan film dan penulis (kiri), dipotret di garasi mobil kediaman DI di Surabaya

Foto : Dahlan Iskan diapit Eddy Widjaya,(kanan) Eksekutif Produser sebuah perusahaan film dan penulis (kiri), dipotret di garasi mobil kediaman DI di Surabaya
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -spot_img

Most Popular

Recent Comments