Pramugari Berpakaian Bikini Serbu Industri Penerbangan
Oleh Derek Manangka
JAKARTA – Industri penerbangan di Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan tentunya – heboh dan sedikit bergejolak. Ini gara-gara perusahaan penerbangan Vietnam, Vietjet mengumumkan kebijakannya yang baru dan cukup kontroversil. Yaitu untuk rute kota bersejarah negara itu Ho Chi Minh dengan ibukota NKRI – Jakarta, pesawat yang menghubungkannya mempekerjakan pramugari, wanita-wanita cantik dengan kulit bening berpakaian bikini.
Dengan pakaian bikini, banyak bagian-bagian tubuh si pramugari yang memiliki daya tarik sensual, seakan sedang ditawarkan, mudah untuk dijamah oleh para lelaki, lawan jenis, penumpang maskapai penerbangan tersebut.
Para penumpang, tidak lagi mempedulikan atau ingat, Vietnam merupakan negara komunis yang dulu mentabukan segala hal yang berbau “pamer tubuh” dan kebebasan.
Terbayang di berbagai lamunan, khusus bagi para lelaki normal, betapa horny-nya suasana yang tercipta, ketika pramugari yang seperti “seperempat telanjang”, datang menawarkan minuman atau makanan, bagian dari lekukan buah dadanya, terlihat begitu dekat dan mudah dikunyah.
Jadi rute Jakarta – Ho Chi Minh yang jarak tempuhnya sekitar dua jam, merupakan rute baru yang perlu dijajal. Harus dicari alasan, bagaimana caranya supaya bisa ke Vietnam sambil menikmati layanan “bermesum-ria” yang ditawarkan secara terbuka.
Kesempatan “bermesum ria” di udara dengan wanita-wanita Vietnam, tentu sebuah pengalaman baru yang menyenangkan. Kesempatan menikmati surga dunia jangan sampai hilang.
Tiket “round trip” Jakarta – Ho Chi Minh, berapa pun harganya atau tanpa diskon, tak masalah, terutama bagi para lelaki yang ingin mendapatkan pengalaman baru.
Padahal, lamunan itu, dipastikan tak bakal menjadi kenyataan. Para pramugari yang berbaju bikini itu, hanya digunakan sebagai alat penggoda bagi para lelaki untuk membelanjakan uang yang mereka kuasai. Perusahaan penerbangan Vietnam hanya ingin keluar sebagai pemenang di antara para pelaku di bisnis yang sama yang persaingannya semakin ketat.
Setelah perang tarif melalui “tiket murah”, ala Air Asia, kiat baru harus ditemukan.
Jadi para pramugari Vietjet itu tidak sedang berperan sebagai “penyaji dan pemuas seks”. Melainkan mereka sekedar memancing selera ‘rendah’ penumpang, terutama mereka, para lelaki yang rada berkelakuan muna (fik).
Manajemen Vietjet bukanlah muncikari yang sedang mencari mangsa penikmat seks di udara. Tapi mereka sekedar membuat terobosan agar mampu keluar sebagai pemenang dalam persaingan di industri penerbangan.
Selama ini industri penerbangan di Asia Tenggara, terlalu didominasi oleh Singapore Airlines (SQ). Keberhasilan SQ antara lain dengan menggunakan pramugari cantik yang berasal dari negara-negara sekitar. Namun pakaian yang mereka kenakan, terlampau sopan. Seluruh lekuk tubuh yang indah, ditutupi oleh pakaian hasil rancangan desainer Prancis atau Itali.
Cara ini bukan sebuah terobosan. Melainkan sebuah “copy paste” temuan “Cathay Pacific” (CX) perusahaan penerbangan milik Inggeris dan otoritas Hongkong.
Formula “Cathay Pacific” inipun sudah cukup usang. Trik marketing ini sudah tidak eksklusif sebab sudah ditiru oleh perusahaan penerbangan “Emirat” dan “Etihad” dari Uni Emirat Arab (UEA).
Jadi khusus pramugari berbikini, perlu dilihat lebih luas. Tidak sekedar sebuah terobosan trik marketing.
Yaitu semakin jelas negara-negara komunis apakah itu Vietnam atau RRT, sudah meninggalkan konsep mereka yang kaku. Kedua negara komunis ini tidak lagi cenderung menolak terhadap semua nilai atau konsep yang berasal dari negara non-komunis.
Vietnam dan RRT yang hingga 30 tahun lalu masih bersikap seperti Korea Utara, memusuhi bangsa Barat. Vietnam seperti halnya RRT justru telah mengadopsi sejumlah konsep ala Barat.
Komunis, sebagai sebuah paham, tetap mereka anut. Tetapi praktek kehidupan mereka, banyak yang sudah bertolak belakang atau bertentangan dengan ideologi komunis itu sendiri.
Mungkin sikap negara-negara komunis ini, sama dengan mereka yang beragama. Nilai-nilai positif yang diajarkan di dalam agama, tetap mereka pegang dan hormati. Rajin sembayang dan berbagi, tetap dilakukan.
Tetapi di luar itu, agama hanyalah dijadikan semacam simbol.
Bahwasanya dalam menjalankan kehidupan, pemeluk agama tetap keukeuh. Tetapi mengimplementasikan secara berbeda. Yakni seperti orang yang tidak beragama, sudah menjadi sebuah pilihan.
Manajemen Vietjet mungkin punya hasil survey yang kemudian mereka jadikan pegangan. Bahwasanya Indonesia, memiliki banyak laki-laki yang punya prilaku – senang berpetualang dari pelukan wanita satu ke wanita lainnya.
Nah, kalau selama ini, pelukan itu hanya bisa dilakukan di darat, mengapa tidak dicoba melakukamnnya di udara ?
Bukankah berpelukan di udara itu punya kenikmatan yang lebih dibanding di darat atau di pinggir pantai.
Maka muncullah konsep pramugari berbikini.
Lalu bagaimana kita menyikapi kebijakan pramugari berpakaian bikini ?
Apakah pemerintah, cq Meneteri Perhubungan yang memberi izin operasi ke Vietjet harus kita kecam, kritisi atau biarkan ?
Apakah pemerintah perlu kita desak untuk membatalkan izin penerbangan perusahaan itu melayani Indonesia ?
Terserah !
Tapi yang paling perlu, industri penerbangan kita harus berbenah dan dibenahi. Supaya mampu tampil sebagai industri yang sehat dan bisa bersaing.
Jangan budayakan, kecenderungan bahwa industri penerbangan merupakan bisnis yang sulit. Sehingga merugi dan merugi, merupakan hal yang logis.
Untuk bidang personalia misalnya. Sosok yang perlu dipilih menjadi direksi perusahaan-perusahaan penerbangan kita, jangan lagi yang hanya mampu menciptakan korupsi.
Jangan terulang, direksi Garuda ikut berpolitik dalam dunia bisnis.
Jangan berulang dan layani tawaran pembelian mesin pesawat buatan Inggeris, dengan gelar bangsawan untuk orang yang berpengaruh di Indonesia.
Lagi pula untuk apa gelar ‘bangsawan’ itu harus dibayar dengan uang rakyat ?
Untuk apa gelar bangsawan dijadikan ukuran tinggi rendah martabat seorang pemimpin, sementara Indonesia bukanlah negara feodal ?
Atau harus dicegah : terjadi perekrutan direksi yang hanya bisa membangkrutkan perusahaan penerbangan milik BUMN seperti Merpati. Penerbangan yang sempat menjadi salah satu kebanggaan bangsa Indonesia di tahun 1970-an.
Pemerintah atau Indonesia harus dapat menemukan sosok-sosok yang berjiwa enterpreneur seperti Jack Ma dari RRT atau Mark Zuckerberg dari Amerika. Jack Ma milyarder perusahaan terkenal “Alibaba”, Mark pemuda berdarah Yahudi yang menemukan konsep media sosial “Facebook”.
Sebelum sukses menjadi manusia yang kaya raya, dan temuan mereka bermanfaat bagi masyarakat dari berbagai suku bangsa, Jack dan Mark bukanlah apa-apa dan siapa-siapa.
Atau kita, rakyat Indonesia, perlu menentukan kriteria pemimpin yang punya visi seperti pemimpin bangsa Korea, Jepang dan RRT.
Para pemimpin di tiga negara itu, bukan sibuk mencari legimitasi dan pengakuan masyarakat demi kepentingan golongan diri sendiri.
Namun bagaimana berbuat, bertindak dan berprilaku yang tujuan akhirnya selalu demi yang lebih besar dan lebih luas.
Dalam perspektif filosofis, bukan politis, hadirnya maskapai perbangan asing yang menggunakan pramugari dengan baju bikini, jangan dilihat dari sudut pandang yang sempit.
Peluncuran produk perusahaan penerbangan yang menggunakan “wanita berbikini” merupakan salah satu bentuk persaingan yang harus kita hadapi secara konseptual.
Kalau masalah ini di bawah ke ranah perang, inilah salah satu bentuk perang yang tidak menggunakan senjata pembunuh.
Inilah perang yang menggunakan “budaya”. A war by proxy. !
Bikini indentik dengan budaya Barat, lebih khusus lagi Amerika Serikat. Dan Amerika Serikat, merupakan negara yang paling dimusuhi oleh rezim komunis Vietnam.
Komunis Vietnam, memusuhi Amerika Serikat, sebab Vietnam yang kini menjadi anggota ASEAN bersama Indonesia, selama hampir tiga dekade, 1945 – 1975 dijadikan jajahan oleh Prancis lalu dihancurkan Amerika Serikat.
Vietnam dipecah belah menjadi dua negara : Vietnam Utara (komunis) dengan ibukotanya Hanoi dan Vietnam Selatan (non-komunis) dengan Saigon, kini berubah menjadi Ho Chi Minh City.
Tentara Vietkong (komunis) berhasil mengusir semua kekuatan personil Amerika dari Vitenam pada April 1975. Dan bersatulah Vietnam Utara dan Vietnam Selatan sebagai sebuah negara seperti yang dicita-citakan oleg Ho Chi Minh, “the founding father”.
Jika melihat luka Vietnam yang ditimbulkan kapitalis Amerika, sangat mustahil, Vetnam mengadopsi “budaya bikini” yang merupakan bagian dari gaya hidup wanita modern Amerika.
Bayangkan, sampai tahun 1985, bangsa Vietnam, khususnya penguasa yang banyak berasal dari Utara, demikian bencinya terhadap Amerika. Sampai-sampai, Bahasa Inggeris dianggap sebagai Bahasa Amerika yang harus ditabukan di seluruh wilayah itu.
Tahun 1984, saat memenuhi undangan pemerintahan komunis Vietnam, saya dibawa ke sebuah bangunan yang mereka sebut bekas gereja. Di situ kader-kader Partai Komunis memperlihatkan betapa jahatnya tindakan yang dilakukan oleh Amerika terhadap Vietnam.
Sebab gereja di kota Saigon itu katanya menjadi tempat bersarangnya pemuda-pemuda Vietnam yang menjadi korban karena mengkonsumsi narkotika.
Sekalipun saya tahu hal itu sebuah propaganda komunis yang sangat anti-Amerika, tetapi hal itu jeas merupakan sebuah sikap yang memperlihatkan kebencian yang tinggi terhadap Amerika.
Namun Amerika Serikat, bukanlah bangsa yang mau diam. Berbagai lobi dan pendekatan dilakukannya terhadap Vietnam. Agar kebencian itu berkurang.
Diantaranya dengan menugaskan Pete Peterson, sebagai Duta Besar pertama Amerika yang menandai pembukaan kembali hubungan diplomatik Vitenam-Amerika.
Petersen merupakan bekas tentara Amerika yang dipenjara Vietnam di “Hanoi Hilton” – julukan penjara bagi tantara Amerika di Vietnam – karena tertangkap tangan, setelah pesawat jetnya yang membombardir Vitenam ditembak jatuh, tentara Vietkong.
Pengangkatan Dubes Peterson di tahun 1997 itu, menjadi awal dari kebijakan Amerika yang ikut mempromosikan Vietnam sebagai negara komunis yang tidak harus ditakuti, dihindari dan dimusuhi.
Imbasnya semenjak itu, Vietnam menjadi sebuah negara tujuan investasi baru – sekaligus saingan Indonesia yang dikenal sebagai negara non-komunis terbesar di Asia Tenggara.
Pengumuman pembukaan rute ini menandai era baru hubungan bisnis Vietnam – Indonesia.
Bila selama dedake-dekade sebelumnya Vietnam terkesan lebih pasif – termasuk Indonesialah yang banyak berinvestasi di negara tersebut, kini situasinya berubah. Vietnamlah yang lebih agresif berbisnis.
Diaspora bangsa Vietnam akibat Perang Vietnam & Perang Indochina, ikut membuat Vietnam terbantu.
Para bekas pengungsi Vietnam yang dikenal sebagai “manusia perahu” (boat people) yang sudah menjadi warga negara Amerika, Australia dan sejumlah negara-mnegara Eropa Barat, setelah tua mulai rindu kampung. Merekalah menjadi kekuatan tersendiri membantu promosi Vietnam sebagai negara destinasi baru.
Kalau perspektif ini yang digunakan, sebetulnya kebijakan Vietnam menggunakan penerbangan dengan awak kabin yang berbikini, tidak perlu dipandang sebagai sesuatu hal yang baru.
Vitenam sedang menggunakan cara-cara berpromosi yang “keluar dari kerumunan” atau “out of the box”.
Karena cara itu diyakini mampu memenangkan persaingan (bisnis), yang semakin ketat. *****