Hukum

ICW Menilai Temuan Pansus KPK Tidak Obyektif

Kantor ICW
Kantor ICW

JURNAL123, JAKARTA.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai 11 temuan sementara atau rekomendasi Panitia khusus Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus KPK) terkait kinerja KPK tidak objektif.

“Temuan pertama, pansus menilai KPK sebagai lembaga superbody yang tidak siap dikritik dan diawasi,” kata Donal, di Kantor ICW, Kalibata, Jakarta Timur, Minggu (27/8).

ICW menilai temuan tersebut tidak memiliki dasar argumentasi yang valid. Sebab, pengawasan terhadap KPK dilakukan oleh beberapa lembaga antara lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal anggaran, lembaga pengadilan, dan DPR. “Dalam penetapan tersangka, keputusan KPK pun menjadi objek yang dapat diuji di praperadilan. Bahkan upaya penyadapan KPK pun diaudit,” kata dia.

Donal mengatakan, temuan pansus juga menyebut KPK mengarah pada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara, dan berpotensi abuse of power. ICW menilai bahwa argumentasi ini tidak memiliki indikator ukuran yang jelas. “Jika ingin dilacak lebih dalam KPK sesungguhnya berdasarkan sejumlah pertimbangan majelis dalam putusan MK Perkara 021-016-019/PUU-IV/2006, menggolongkan KPK pada fungsi cabang kekuasaan kehakiman,” jelas dia.

Pansus juga menemukan, KPK dibentuk bukan atas mandat kontitusi, tetapi UU sehingga sepatutnya mendapat pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya. Menurut ICW, kata Donal, temuan pansus tersebut tidak jelas maksud dan tujuan argumentasi. “Tanpa perlu menggunakan hak angket, DPR mempunyai dan dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU KPK, salah satunya dengan RDP (rapat dengar pendapat),” ungkap dia.

Selain itu, kata Donal, pansus juga menganggap KPK dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan belum bersesuaian atau patuh atas asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK. ICW menilai temuan pansus tersebut tidak berdasar karena dalam lingkup penindakan, KPK berpedoman pada UU Tipikor dan untuk urusan keterbukaan, KPK berada pada peringkat pertama dalam LHP Komisi Informasi tahun 2016.

“Apalagi, dalam kategori BP lembaga non-struktural, KPK mengungguli PPATK (Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan), KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Bawaslu) hingga Komisi Kepolisian Nasional. Sementara kerja-kerja pemberantasan korupsi mulai dari penggunaan anggaran hingga data perkara korupsi secara rutin dipublikasi dalam Laporan tahunan KPK,” ungkap dia.

Lebih lanjut, pansus menemukan bahwa KPK sama sekali tidak berpedoman pada KUHAP dan mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penututan. Menurut dia, hal tersebut tidak benar karena KPK memiliki sifat lex specialis.

“Dalam hal ini, aturan hukum acara dalam UU Tipikor adalah sumber hukum rambu-rambu bagi KPK, kecuali hal-hal yang tidak diatur dalam hukum acara UU Tipikor. Jadi, rekomendasi pansus yang ini membuktikan mereka tidak paham hukum,” pungkas dia.(BES)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *