Hukum

MK Nilai Presidential Threshold Sah dan Konstitusional

Gedung Mahkamah Konstitusi
Gedung Mahkamah Konstitusi

JURNAL123, JAKARTA.
Menyoal UU Pemilu yang baru saja diketok dan disahkan DPR yang mensyaratkan presidential threshold sebesar 20 persen suara parpol di parlemen.

Mahkamah Konstitusi (MK) menilai dan pernah mempertimbangkan hakikat presidential threshold yang menyatakan syarat itu adalah kebijakan terbuka, bukan masalah konstitusionalitas.

Berikut pertimbangan MK dalam putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 yang dikutip dari website MK, Kamis (27/7/2017):

1. Presidential Threshold Sah dan Konstitusional

Kebijakan syarat perolehan suara 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen perolehan suara sah nasional dalam Pemilu DPR, sebagaimana telah menjadi pendapat Mahkamah dalam putusan-putusan terdahulu, merupakan kebijakan hukum (legal policy) yang terbuka yang didelegasikan oleh Pasal 6A ayat 5 UUD 1945. Pasal itu berbunyi:

Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang.

Hal itu juga diatur dalam Pasal 22E ayat 6 UUD 1945 yang menentukan:

Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

Mahkamah berpendapat tata cara sebagai prosedur pemilihan presiden/wakil presiden dikaitkan dengan Pasal 22E ayat 6 UUD 1945 sebagai kebijakan legislasi yang didelegasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sah dan konstitusional sebagai dasar kebijakan threshold yang diamanatkan dalam UUD 1945.

2. Presidential Threshold Tidak Terkorelasi dengan Pemilu Jurdil

Mahkamah berpendapat tidak ada korelasi yang logis antara syarat dukungan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional yang harus diperoleh partai untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan pemilihan umum yang demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, karena justru pencapaian partai atas syarat tersebut diperoleh melalui proses demokrasi yang diserahkan kepada rakyat pemilih yang berdaulat.

Hal demikian juga untuk membuktikan apakah partai yang mengusulkan calon presiden dan wakil presiden
mendapat dukungan yang luas dari rakyat pemilih.

3. MK Tak Berwenang Membatalkan Open Legal Policy (kebijakan legal terbuka)

Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin membatalkan UU atau sebagian isinya jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk UU.

Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable.

“Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU-III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk UU, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah,” kutip majelis pada 18 Februari 2009 silam.(DET)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *